Entri Populer

Sabtu, 26 Maret 2011

Biarlah Hati Kita Bebas

Aku berdoa untukmu, semoga Tuhan senantiasa menempatkan kebahagiaan dalam hatimu. Agar dalam hari-harimu engkau dapat tersenyum dan menikmati aroma mawar yang menghiasi taman hidupmu. Agar engkau dapat melangkah dengan kaki gagah dan kepala yang tegak menuju matahari. Aku tidak ingin melihat ada setetes air matapun jatuh dari pelupuk matamu, aku tak ingin ada kepedihan sekecil apapun yang menyentuh sudut hatimu apalagi diam di dalam hatimu. Aku ingin seluruh ruang hatimu menjadi satu dan di dalamnya ada kebahagiaan yang ditempatkan oleh Pencipta kita. Dan…biarlah kita menjadi orang bebas, menjadi orang yang berani ditinggalkan dan meninggalkan.
“Apakah menurutmu ini mudah?”
“Tidak, bahkan teramat sulit”.
Kita memang lebih sulit membebaskan diri kita dari perasaan-perasaan dan kerinduan-kerinduan yang telah lama kita alami, miliki dan tempatkan dalam ruang hati kita. Kita lebih mudah masuk ke dalam perangkap yang mengikat seluruh hati kita. Kita lebih mudah memasukkan hati kita ke dalam penjara yang menjawab kerinduan kita tetapi yang menjauhkan kita dari kebebasan yang sebenarnya bisa kita alami dan miliki. Kita memilih untuk dibelenggu. Kita lebih suka mengikatkan hati kita pada hati orang lain, padahal seharusnya hati kita bebas. Kebebasan itu kadang terasa menakutkan. Kita takut ditinggalkan dan tidak berani meninggalkan. Padahal kita memilih menjadi orang bebas tapi takut bebas.
Itu semua karena hati ini, hati yang kecil tapi terbagi dalam sekat-sekat yang menyimpan berbagai hal dan peristiwa dan tak jarang kita mengabaikan apa yang tersimpan di sana. Kita jarang menelusuri ruang dan lorong-lorongnya tetapi memasukkan segala sesuatu yang yang ditangkap mata. Hati itu merekam dan menyimpan seluruh perjalanan kebersamaan kita, menyimpan setiap kata dan gerak kita. Hati itu milik kita hingga tak seorangpun dapat menyentuhnya.
Kemarin tanpa sengaja aku menelusuri lorong dan ruang hatiku. setiap kutemukan ada aku engkau juga ada. Setiap ada kata-kataku selalu dilengkapi dengan kata-katamu, setiap ada candaku diakhiri dengan tawamu, setiap aku memandang aku menemukan kelembutan matamu dan setiap kali ada air mataku, kurasakan lembutnya usapan jemarimu.
“Apakah engaku juga menelusuri lorong dan ruang hatimu?”
“Iya… bahkan teramat sering, tetapi aku menelusuri ruang dan lorong yang dihiasi dengan hari-hari kita. Hari-hari saat aku ada dan engkau ada.”
“Mengapa?”
“Aku senang, aku bisa melihat dan merasakanmu?”
“Mengapa engkau tidak mengatakannya padaku?”
“Aku takut”
“Takut apa?”
“Takut dengan kehadiran hari ini.”
“Mengapa?”
“Hari ini engkau mengajakku untuk menjadi orang bebas. Berani meninggalkan dan ditinggalkan. Aku tidak pernah berharap hari ini ada. Aku tidak pernah membayangkan telingaku mendengar kata-kata ini engkau ucapkan. Aku benci hari ini, aku ingin hari ini segera berlalu. Aku ingin hari ini tiada.”
“Ya…justru keputusanitulah yang membuat kita makin terpenjara. Aku ingin ada sesuatu yang baru menempati hatiku, hatiku sepenuh-penuhnya, maka aku harus mengeluarkan apa yang selama ini memenuhi hatiku. dan sungguh aku tidak menduga…hatiku telah dipenuhi dengan aku dan kamu. Tanpa sengaja aku membuat hatiku menjadi milikku dan milikmu. Tanpa sadar hatiku itu telah penuh dengan aku dan kamu, darinya telah meluap kisah-kisah kita tanpa kita sadari. Bahkan ketika orang lain mengatakannya kita menolaknya dengan marah dan kita ingin orang lain mengerti. Tapi bukankah kita juga harus mengerti dengan orang lain. Orang lain yang juga ingin punya tempat di hati kita.”
Dan satu hal lagi yang membuatku sedih. Engkau tahu…. ketika kesenangan hati kita diadili dengan nilai-nilai dan norma-norma kita memberontak dan membela diri dengan mengatakan “aku ini manusia”. Bukankah karena kita manusia maka kita tahu mana yang baik dan mana yang jahat. Bukankah kita keturunan kakek nenek kita Adam dan Hawa yang juga telah ikut memakan buah dari pohon pengetahuan itu, jadi kita sebenarnya sudah tahu mana yang jahat dan baik. Persoalannya sekalipun kita tahu jahat karena itu menyenangkan, kita melakukannya juga meski hati kita terasa pedih, dan meskipun baik kita menolak melakukannya karena tidak memberi hiburan bagi kita.
Itulah kita selama ini. Kita tidak mau menjadi orang bebas. Kita mengikuti pikiran dan kesenangan bukan mengikuti kata hati kita. Kalau aku tanya padamu apa kata hatimu saat ini?
“Tidak, aku tidak mau mengatakannya”.
“Aku tahu apa kata hatimu.”
“Hatiku mengatakan semua ini harus berakhir.”
“Engkau benar.”
“Tapi….bagaimana kita menjalani hidup ini?”
“Engkau ingat kata-kata sang alkemis kepada Santiagi di tengah padang pasir?”
“Aku sengaja melupakannya.”
“Aku akan mengingatkannya padamu: pergilah kemana hatimu membawa langkahmu,karena di mana hatimu di situlah hartamu. Berjalanlah seturut kata hatimu maka engakau akan menemukan kebahagiaan sebagai orang bebas.”
“Bagaimana kalau aku lelah dan bosan?”
“Kalau itu malam hari pandanglang langit dan hitunglah bintang setiap kali engaku melangkah. Kalau itu senja melangkahlah seturut buaian sang bayu. Kalau itu pagi hari melangkahlah sambil meniri nyayian burung dan tarian kupu-kupu. Kalu itytu siang hari berjalanlan sambil memandang butir-butir pasir yang bercahaya indah diterpa sinar mentarii. Berjalanlah dan melangkahlah.”
“Bagaimana kalau aku mengingat dan sangat merindukanmu?”
“Berlarilah karena di depanmu ada jawabannya”
“Haruskah kita mulai dari saat ini?”
“Iya…katamu benar.”

Ade FSE