Entri Populer

Rabu, 09 Februari 2011

Balon Biru Buat Ayah

Balon Biru Buat Ayah

Senja itu sepi, hanya suara mesin kendaraan menemani keberangkatan sang mentari ke peraduannya. Sang bayu berhembus lembut menyapa makhluk penghuni alam.
“Ah, apa yang harus aku lakukan? Adakah harapanku akan terpenuhi? Bagaimana dengan ibu saat ini?” Di, bertanya sendiri. Tidak ada yang menjawab, tak seorang pun mendengar apalagi mengerti.
Di, melangkah mendekati jendela, matanya menerawang jauh, seakan ia memburu sesuatu dengan sorot matanya yang sayu. “Seandainya aku sudah bertemu...”, keluh Di, sambil menghembuskan nafas yang berat. Ayah, benarkah engkau hanya bayang-bayang dan hayalanku saja? Tapi mungkinkah aku ada di dunia ini tanpa seorang ayah?”
Di, menyambar pena berwarna hijau, mengambil beberapa lembar kertas biru. Ia duduk di bangku kecil berwarna biru. Ia menatap langit-langit kamarnya. Sepasang anak sungai bersumber dari matanya yang indah dan bening. melintasi pipinya yang sembab. Berlahan ia menggoreskan penanya

Buat Ayah yang kucintai dan kurindukan :
Ayah, aku tidak tahu bagaimana cara yang tepat agar bisa bertemu denganmu. Aku sangat merindukanmu. Aku ingin melihat dan mengenalmu ayah. Ayah, namaku Diana, aku sudah dewasa. Aku kuliah di Perguruan Tinggi Katolik. Apakah ayah tidak ingat, kalau ayah pernah mempunyai seorang istri berdarah Timor, meskipun bukan istri yang sah? Dan dari perkawinan yang tidak sah itulah aku terlahir. Ibu pernah bilang, ayah memaksa ibu menjadi istri ayah, ketika ayah datang ke negaraku sebagai utusan penjaga keamanan. Sebelum aku lahir ayah pulang ke negara ayah sedangkan ibu yang sedang hamil tua tinggal meratapi nasib karena tidak punya kekuatan untuk menahan ayah. Akulah anak ayah yang sedang berdiam di rahim ibu saat itu.
Ayah tidak pernah memberi khabar dan ibu tidak pernah tahu dimana ayah berada hingga saat ini. Ibu hanyalah seorang perempuan kampung yang pasrah kepada nasib. Kata orang-orang, ibu adalah korban dari kekejaman, nafsu dan ketamakan orang yang tidak punya moral dan belaskasih. Bukan hanya ibu, masih banyak perempuan lain yang bernasib sama seperti ibu di negaraku.
Ibu selalu mengajar aku agar jangan pernah membenci ayah, ibu meyakinkan aku kalau suatu saat aku pasti bertemu ayah. Karena harapan itulah aku rela meninggalkan ibu sendirian di Timor Leste dan berangkat ke negara ayah. Aku rela tinggal di ruang sempit ini, membayar uang kost, makan nasi sekepal, itu pun hanya dua kali sehari. Aku dengan bersusah payah berurusan dengan pihak imigrasi dengan mengeluarkan uang dua ratus lima puluh ribu rupiah setiap bulan agar aku bisa tinggal di negara ayah ini. Untuk mendapatkan uang itu ibu bekerja keras siang malam tanpa henti. Semua itu dilakukan ibu agar aku bisa melihat wajah ayah.
Seandainya saat ini ayah sudah beristri, punya anak dan bahagia, aku tidak akan mengganggu kebahagiaan ayah. Aku hanya ingin bertemu ayah. Aku ingin merasakan bisa duduk di samping ayah. Aku ingin memanggil mu “ayah”. Ayah tahu, banyak teman-temanku yang menuduh ayah kurang ajar, tidak bermoral, tidak bertanggung jawab dan banyak tuduhan lainnya. Memang kalau dipikirkan secara rasional mungkin tuduhan itu ada benarnya. Tapi bagiku, ayah adalah seorang yang berarti, karena ayahlah aku ada di dunia ini dan aku merindukanmu ayah.
Ayah, liburan tahun ini teman-temanku semua pulang ke rumah orang tuanya dan berkumpul bersama. Aku hanya sebagai perantau di sini. Aku tidak mengharapkan apa-apa kecuali bertemu denganmu. Andai kita bertemu itu adalah kado terindah dalam hidupku dan tidak akan pernah kulupakan. Ayah, apakah itu mungkin?
Apakah ayah pernah ingat kepada ibu, membayangkan wajah bayi yang ayah tinggalkan di perut ibu, menghitung-hitung usianya, menerka-nerka namanya dan rindu ingin bertemu dengannya? Atau ayah sama sekali tidak mengingat semua itu? Ayah tahu, aku sering membayangkan ayah dan melukis wajah ayah di buku harianku meskipun aku belum pernah bertemu dengan ayah. Ibu bilang sorot mata, warna kulit, wajah dan rambut kita mirip. Menurut perkiraan ibu usia ayah saat ini kira-kira 46 tahun. Badan ayah tegap, sorot mata ayah lembut dan kulit ayah sawo matang.
Sebenarnya aku pernah membenci ayah dan ingin membalas dendam kepada ayah, tapi ibu bilang, tidak boleh. Dan setelah aku kuliah di sini, aku semakin mengasihi ayah dan sangat merindukan ayah. Di kampusku aku banyak belajar dari dosenku yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga tentang pengampunan dan kasih. Aku belajar menjadi pribadi yang dewasa dan mampu mencintai semua orang. Dosenku adalah kaum berjubah yang biasa aku panggil Romo dan Frater. Mereka sangat baik. Dari kebaikan mereka itulah aku semakin yakin, kalau ayah juga sangat baik. Mereka sangat mengasihi aku dan aku yakin seandainya ayah melihat aku, ayah juga pasti akan mengasihi aku.
Ayah, aku sangat merindukanmu aku ingin bertemu.Aku tidak tahu kapan dan bagaimana caraku agar bisa bertemu denganmu ayah. Ayah aku selalu berdoa semoga Tuhan berkenan mempertemukan kita. Dan aku ingin malam ini ayah hadir dalam mimpiku. Ayah aku ingin melihatmu, memegang tanganmu dan merasakan hangatnya pelukan seorang ayah.
Yogyakarta Desember 2007
Dariku ananda,
Diana
Di, melipat lembaran suratnya. Ia melangkah menuju pintu. Matanya berkaca-kaca. Ayah, bagaimana caraku menyampaikan surat rindu ini padamu? Aku tidak punya alamat ayah, hanya tahu nama ayah adalah Herman. Ah, ayah betapa aku merindukanmu.
Langit makin senja, Di, mengarahkan pandangannya ke sisi kanan jalan, ia mempercepat langkahnya menemui seorang pria berbadan kurus.
“Pak, aku beli balon berwarna biru tiga buah”.
“Oh, iya mbak”, Penjual balon terbang itu mengambil balon dan mulai mengisinya dengan gas agar bisa terbang.
“Pak, tolong masukkan ini ke dalam balon yang terakhir”, kata Di sambil menyodorkan surat yang ditulisnya tadi.
Di, membawa ketiga balon itu ke sebuah bukit kecil yang tidak jauh dari tempat kosnya.
“Ayah, andai aku tahu saat ini ayah berada aku pasti datang kepada ayah dan mengungkapkan rasa cinta dan rinduku kepada ayah dan aku pasti akan bahagia, aku akan bercerita tentang ibu, Timor Leste dan tentang kuliahku. Ayah, sekarang aku mengirimkan suratku lewat balon biru ini, biarlah balon ini yang membawanya kepada ayah, aku berharap surat ini sampai kepada ayah meskipun dalam waktu yang lama. Ayah aku mencintai dan merindukanmu”, ungkap Di dengan terpatah-patah. Dengan tangan gemetar ia melepaskan balon biru itu, kedua matanya mengikuti gerak balon itu sampai hilang dari tatapan matanya. Ayah aku menanti balasanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar