Entri Populer

Kamis, 10 Februari 2011

PEMANFAATAN MEDIA AUDIO VISUAL DALAM PEWARTAAN KABAR GEMBIRA

PEMANFAATAN MEDIA AUDIO VISUAL
DALAM PEWARTAAN KABAR GEMBIRA

A. MEDIA AUDIO VISUAL
Media berarti wadah atau sarana. Dalam bidang komunikasi, istilah media yang sering kita sebut sebenarnya adalah penyebutan singkat dari media komunikasi. Televisi dan radio adalah contoh media yang paling sukses menjadi pendorong perubahan.
Marshall McLuhan berpendapat bahwa “media adalah suatu ekstensi manusia yang memungkinkannya mempengaruhi orang lain yang tidak mengadakan kontak langsung dengan dia”. ...........

B. Media Audio Visual Pendorong Perubahan
Televisi, sebuah sarana penyampaian pesan yang saat ini menjadi primadona masyarakat umum. Di rumah-rumah, televisi telah menjadi Second God. Kini televisi telah menjadi sarana utama bukan hanya informasi tetapi juga hiburan bagi hampir setiap orang di dunia. Dengan kata lain, televisi telah menyebabkan perubahan massal dalam cara mendengarkan, cara belajar, cara kita berpikir dan bahkan cara kita berdoa. .....

C. Mewarta Dengan Bermedia: Kekuatan Audio Visual Dalam Pewartaan

Augustine Loorthusamy yang menjabat President SIGNIS World (International Catholic Association for Communication) Asosiasi Katolik Dunia untuk Komunikasi, berpendapat bahwa banyak orang melihat media sebagai setan sementara yang lain melihatnya sebagai anugerah. Dengan cara pandang yang manapun, kita harus mengakui bahwa media akan tetap ada di sini dan memiliki pengaruh yang besar dalam hidup kita dan kita harus menghadapinya. Pendidikan media adalah salah satu cara.
......................................

d. Siaran program religius lewat televisi. Bentuk ini dilakukan secara periodik, yaitu sebulan sekali selama 30 menit
e. Pendalaman iman melalui kotbah audio visual di gereja, berlangsung ±15 menit.
Sejalan dengan pendapat di atas tentunya media juga bermanfaat dalam katekese. Dengan melihat betapa semakin beragam, canggih dan modern media audio visual maka kita yang berkiprah di dunia Pewartaan Kabar Gembira tentunya tertarik dan tertantang untuk memanfaatkannya dalam karya pelayanan kita teristimewa dalam berkatekese. Pemanfaatan media secara tepat dapat menciptakan proses dan hasil katekese yang maksimal. Pengetahuan, keterampilan penggunaan media dan kebijakan dalam memanfaatan media tersebut akan membawa kita kepada proses Katekese yang menarik dan menyentuh hati umat.
“The power of imagination” itu memang nyata. ...................................dst
Ade Sitepu FSE
Yogyakarta

Rabu, 09 Februari 2011

ERNES

ERNES
Aku baru kembali dari Novisiat, aku langsung menuju UGD karena engkau akan segera datang. Aku ingin segera melihatmu. Kira-kira 30 menanti engkau tiba. Engkau tersenyum, tapi aku merasa lain. Apakah mungkin seperti ini keadaanmu tanyaku dalam hati. Bukan karena aku tidak senang melihatmu tersenyum dan menyapaku. Tanpa menunggu lama, orang-orang membawamu ke ruangan dan memeriksa tubuhmu. Kuperhatikan lengan kirimu yang terbungkus kain putih, “mengapa lengan kamu sudah kecil tanyaku”. Dengan lemah engkau menjelaskan bahwa dokter menggunting daging lenganmu karena jaringannya mati. Engkau juga mengatakan lenganmu perih dan sakit. Aku terdiam menatapmu.
Aku mau minum, suaramu lembut dan lemah memecah kesunyian di ruang kecil itu. di ruangan itu banyak orang tapi tidak tahu harus berkata apa lagi padamu adikku.
Pikiran dan hayalku terbang jauh ke tempat kita pernah bersama. Di pelupuk mataku terbayang senyum dan suaramu yang kadang sangat kuat menyanyikan lagu. Gerakan-gerakanmu yang lincah dan.......semua yang pernah kita alami. Kesepakatan kita, omong kosong kita. Keinginan kita ke Paris. Kita pernah bercerita tentang kematian dan kehidupan, ramalan usia kita.
Ah...... aku tidak meminta mujizat kesembuhan untukmu adikku, bukan karena aku tidak menginginkan engkau pulih, bukan karena aku tidak menyayangimu. Adikku kalaupun aku merengek kepada Tuhan, bukankah aku terlalu egois dan engkau sudah terlalu lelah dan sakit menanggung deritamu. Kalaupun aku memohon agar engkau tetap ada di sampingku bukankah itu hanya keinginan manusiawiku yang tidak mau melepaskan engkau ke tempat yang indah.
Aku masih ingat tentang kubur kecil diantara kubur besar yang aku ceritakan padamu dan kepada saudari-saudari kita. Aku merasa saat itu mungkin akulah yang akan berlalu darimu dan seandainya itu terjadi aku tidak akan menolaknya bahkan sejak saat itu aku menulis syair tentang kehidupan damai di dunia sana.
Pagi itu aku datang ke kamar tempat engkau dirawat. Aku melihat cairan keruh keluar dari lubang dekat dada kananmu, suara kertak gigimu menahan rasa sakit, matamu putih. Aku melihat dan merasakan ada perjuangan berat melepaskan sesuatu dari tubuhmu, seperti melepaskan dua buah kaca yang sisinya melekat pada sisi kaca yang lain. Aku berpikir bahwa engkau bukan milik kami lagi. Tempat pembaringanmu didorong menuju ICU. Di tempat itulah kita berpisah dan engkau menemui Bapa kita.
Ernes selamat jalan kawan. Semua orang sedih melepasmu. Masihkah engkau dengar suara tangisan dan cerita orang-orang tentangmu? Nes mereka menyayangimu, mengagumimu.
Salam dan doaku buat Ernes,
ADE FSE

Balon Biru Buat Ayah

Balon Biru Buat Ayah

Senja itu sepi, hanya suara mesin kendaraan menemani keberangkatan sang mentari ke peraduannya. Sang bayu berhembus lembut menyapa makhluk penghuni alam.
“Ah, apa yang harus aku lakukan? Adakah harapanku akan terpenuhi? Bagaimana dengan ibu saat ini?” Di, bertanya sendiri. Tidak ada yang menjawab, tak seorang pun mendengar apalagi mengerti.
Di, melangkah mendekati jendela, matanya menerawang jauh, seakan ia memburu sesuatu dengan sorot matanya yang sayu. “Seandainya aku sudah bertemu...”, keluh Di, sambil menghembuskan nafas yang berat. Ayah, benarkah engkau hanya bayang-bayang dan hayalanku saja? Tapi mungkinkah aku ada di dunia ini tanpa seorang ayah?”
Di, menyambar pena berwarna hijau, mengambil beberapa lembar kertas biru. Ia duduk di bangku kecil berwarna biru. Ia menatap langit-langit kamarnya. Sepasang anak sungai bersumber dari matanya yang indah dan bening. melintasi pipinya yang sembab. Berlahan ia menggoreskan penanya

Buat Ayah yang kucintai dan kurindukan :
Ayah, aku tidak tahu bagaimana cara yang tepat agar bisa bertemu denganmu. Aku sangat merindukanmu. Aku ingin melihat dan mengenalmu ayah. Ayah, namaku Diana, aku sudah dewasa. Aku kuliah di Perguruan Tinggi Katolik. Apakah ayah tidak ingat, kalau ayah pernah mempunyai seorang istri berdarah Timor, meskipun bukan istri yang sah? Dan dari perkawinan yang tidak sah itulah aku terlahir. Ibu pernah bilang, ayah memaksa ibu menjadi istri ayah, ketika ayah datang ke negaraku sebagai utusan penjaga keamanan. Sebelum aku lahir ayah pulang ke negara ayah sedangkan ibu yang sedang hamil tua tinggal meratapi nasib karena tidak punya kekuatan untuk menahan ayah. Akulah anak ayah yang sedang berdiam di rahim ibu saat itu.
Ayah tidak pernah memberi khabar dan ibu tidak pernah tahu dimana ayah berada hingga saat ini. Ibu hanyalah seorang perempuan kampung yang pasrah kepada nasib. Kata orang-orang, ibu adalah korban dari kekejaman, nafsu dan ketamakan orang yang tidak punya moral dan belaskasih. Bukan hanya ibu, masih banyak perempuan lain yang bernasib sama seperti ibu di negaraku.
Ibu selalu mengajar aku agar jangan pernah membenci ayah, ibu meyakinkan aku kalau suatu saat aku pasti bertemu ayah. Karena harapan itulah aku rela meninggalkan ibu sendirian di Timor Leste dan berangkat ke negara ayah. Aku rela tinggal di ruang sempit ini, membayar uang kost, makan nasi sekepal, itu pun hanya dua kali sehari. Aku dengan bersusah payah berurusan dengan pihak imigrasi dengan mengeluarkan uang dua ratus lima puluh ribu rupiah setiap bulan agar aku bisa tinggal di negara ayah ini. Untuk mendapatkan uang itu ibu bekerja keras siang malam tanpa henti. Semua itu dilakukan ibu agar aku bisa melihat wajah ayah.
Seandainya saat ini ayah sudah beristri, punya anak dan bahagia, aku tidak akan mengganggu kebahagiaan ayah. Aku hanya ingin bertemu ayah. Aku ingin merasakan bisa duduk di samping ayah. Aku ingin memanggil mu “ayah”. Ayah tahu, banyak teman-temanku yang menuduh ayah kurang ajar, tidak bermoral, tidak bertanggung jawab dan banyak tuduhan lainnya. Memang kalau dipikirkan secara rasional mungkin tuduhan itu ada benarnya. Tapi bagiku, ayah adalah seorang yang berarti, karena ayahlah aku ada di dunia ini dan aku merindukanmu ayah.
Ayah, liburan tahun ini teman-temanku semua pulang ke rumah orang tuanya dan berkumpul bersama. Aku hanya sebagai perantau di sini. Aku tidak mengharapkan apa-apa kecuali bertemu denganmu. Andai kita bertemu itu adalah kado terindah dalam hidupku dan tidak akan pernah kulupakan. Ayah, apakah itu mungkin?
Apakah ayah pernah ingat kepada ibu, membayangkan wajah bayi yang ayah tinggalkan di perut ibu, menghitung-hitung usianya, menerka-nerka namanya dan rindu ingin bertemu dengannya? Atau ayah sama sekali tidak mengingat semua itu? Ayah tahu, aku sering membayangkan ayah dan melukis wajah ayah di buku harianku meskipun aku belum pernah bertemu dengan ayah. Ibu bilang sorot mata, warna kulit, wajah dan rambut kita mirip. Menurut perkiraan ibu usia ayah saat ini kira-kira 46 tahun. Badan ayah tegap, sorot mata ayah lembut dan kulit ayah sawo matang.
Sebenarnya aku pernah membenci ayah dan ingin membalas dendam kepada ayah, tapi ibu bilang, tidak boleh. Dan setelah aku kuliah di sini, aku semakin mengasihi ayah dan sangat merindukan ayah. Di kampusku aku banyak belajar dari dosenku yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga tentang pengampunan dan kasih. Aku belajar menjadi pribadi yang dewasa dan mampu mencintai semua orang. Dosenku adalah kaum berjubah yang biasa aku panggil Romo dan Frater. Mereka sangat baik. Dari kebaikan mereka itulah aku semakin yakin, kalau ayah juga sangat baik. Mereka sangat mengasihi aku dan aku yakin seandainya ayah melihat aku, ayah juga pasti akan mengasihi aku.
Ayah, aku sangat merindukanmu aku ingin bertemu.Aku tidak tahu kapan dan bagaimana caraku agar bisa bertemu denganmu ayah. Ayah aku selalu berdoa semoga Tuhan berkenan mempertemukan kita. Dan aku ingin malam ini ayah hadir dalam mimpiku. Ayah aku ingin melihatmu, memegang tanganmu dan merasakan hangatnya pelukan seorang ayah.
Yogyakarta Desember 2007
Dariku ananda,
Diana
Di, melipat lembaran suratnya. Ia melangkah menuju pintu. Matanya berkaca-kaca. Ayah, bagaimana caraku menyampaikan surat rindu ini padamu? Aku tidak punya alamat ayah, hanya tahu nama ayah adalah Herman. Ah, ayah betapa aku merindukanmu.
Langit makin senja, Di, mengarahkan pandangannya ke sisi kanan jalan, ia mempercepat langkahnya menemui seorang pria berbadan kurus.
“Pak, aku beli balon berwarna biru tiga buah”.
“Oh, iya mbak”, Penjual balon terbang itu mengambil balon dan mulai mengisinya dengan gas agar bisa terbang.
“Pak, tolong masukkan ini ke dalam balon yang terakhir”, kata Di sambil menyodorkan surat yang ditulisnya tadi.
Di, membawa ketiga balon itu ke sebuah bukit kecil yang tidak jauh dari tempat kosnya.
“Ayah, andai aku tahu saat ini ayah berada aku pasti datang kepada ayah dan mengungkapkan rasa cinta dan rinduku kepada ayah dan aku pasti akan bahagia, aku akan bercerita tentang ibu, Timor Leste dan tentang kuliahku. Ayah, sekarang aku mengirimkan suratku lewat balon biru ini, biarlah balon ini yang membawanya kepada ayah, aku berharap surat ini sampai kepada ayah meskipun dalam waktu yang lama. Ayah aku mencintai dan merindukanmu”, ungkap Di dengan terpatah-patah. Dengan tangan gemetar ia melepaskan balon biru itu, kedua matanya mengikuti gerak balon itu sampai hilang dari tatapan matanya. Ayah aku menanti balasanmu.

Cinta Tidak Pernah Sendiri dan Takkan Mati

Cinta Tidak Pernah Sendiri dan Takkan Mati

Aku tidak tahu harus memikirkan apa malam ini. Tiba-tiba hatiku menuntunku berkisah tentang cinta yang abadi. Aku diingatkan akan kisah-kisah yang baru berlalu. CINTA. Aku membayangkan hari-hari hidup yang dihiasi cinta. Hari yang indah. Maka akupun ingin setiap tarikan dan hembusan nafasku diirigi cinta, bahkan saat tubuhku nanti biru aku ingin diiringi dengan cinta. Sekalipun tubuh itu tidak lagi merasakan sentuhan angin.

Pernahkah engkau sangat rindu? Rindu bukan untuk bertemu, melihat atau memandang, bukan rindu duduk bersama menghabiskan secangkir susu coklat dan makan daging anjing. Kerinduan itu diam dalam hatimu yang terdalam dan engkau tak kuasa mengusirnya. Kerinduan itu membuatmu sedih dan pedih. Bila engkau beranjak dari tempatmu berhening dan engkau bisa saja menemukannya, tetapi bukan saat yang tepat bagimu untuk melakukannya, lagi pula engkau tidak berniat melakukannya. Engkau tidak ingin bertemu.
Menit-menit berlalu, engkau menanti yang engkau rindukan tapi tak jua ada. Kerinduan yang sederhana namun tak terabaikan. Engkau hanya rindu mendengar suara singgah di telingamu dan menyapa hatimu. Suara yang darinya engkau pernah merasakan cinta dan bagimu suara itu adalah tanda-bukti cinta. Kali ini, saat kerinduan memenuhi hatimu, cinta itu tidak datang, dia berkelana entah kemana. Kalau engkau pernah merasakannya maka engkau pasti mengerti akan arti “CINTA YANG TAK PERNAH SENDIRI DAN TAKKAN MATI”.
Aku telah mengalami ini dan aku ditemui oleh Sang Cinta. Ia menyapa hatiku yang rindu dan aku berkata “cinta selamat datang”. Kini aku tahu cinta itu sejati. Ini semua kumengerti dalam pertemuan dengan Dia di keheningan hatiku, di sebuah ruang kecil 7C, RPF-Nagahuta tempatku berhening dan dalam bimbingan P. Michael Manurung OFMCap yang dipilih oleh Tuhan menjadi pembimbing retret pribadiku. Bersama beliau aku bertualang menemukan cinta.....
Retret hari ketiga, seperti biasa aku merenungkan 4 teks KS. Dua teks terdahulu, dalam kontemplasi aku mendapatkan diriku berjalan hanya sendirian. Hatiku sedih dan berulangkali bertanya, “Bapa mengapa aku hanya sendirian saja di jalan kecil ini?” “Berjalanlah”, jawabNya. Aku berjalan. Aku bertanya lagi, “Bapa aku ingin punya teman seperjalanan, mengapa aku sendirian?” Aku tidak lagi mendengar suaraNya. Kuangkat kepalaku, jauh di depanku ada sebuah puncak dan kulihat Dia di sana. Dari tatapanNya hatiku menangkap sebuah pesan. Dia menyuruhku datang kepadaNya. Akupun datang meski merasa sendirian karena Dia yang menyuruhku. Ada harapan dalam hati kecilku. Tapi kerinduan akan kehadiran teman-teman seperjalanan masih memenuhi hatiku.
Pukul 15.30 WIB, jadwal kontemplasiku yang ketiga. Pertobatan Saulus. Bapa beri aku hati yang hening, tenang dan bening. Beri aku kesempatan berjalan bersama Saulus, bertemu Yudas, Ananias dan bertemu dengan Engkau serta mendengar pesanMu. Aku duduk tenang, mendengarkan suara-suara. “Bapa dimana suara itu, tanyaku dalam hati. Aku tidak mengerti, mengapa aku tiba-tiba sangat rindu mendengar suara burung yang sering melintas dekat kamarku.
Kutelusuri perasaanku, mengapa aku rindu. Suara itu tanda kehadiran seorang yang mencintaiku dan kucintai. Dia telah berlalu dari dunia ini sejak aku berusia lima tahun. Bapak memperkenalkan suara itu, untuk menghibur kepedihan dan kehilanganku dengan meyakinkan aku bahwa dia yang telah meninggalkan kami tetap mencintaiku tetap ada menjagaku. Ia menyapaku lewat kicau burung. Bapak sering menterjemahkan kicauan burung dengan kalimat-kalimat indah yang menghibur dan menyenangkan hatiku. Hingga akhirnya aku sendiri fasih menterjemahkan suara-suara burung itu “Sore ini suara itu meninggalkan hatiku, cinta itu pergi dari hatiku,” keluhku dalam hati.
Dua hari pertama retretku, suara itu kudengar riuh. Aku tidak peduli, aku tidak merasa atau berpikir sesuatupun tentang suara itu. Tapi sore ini, aku sangat merindukannya. Aku diam menanti suara itu, mungkin sebentar lagi terdengar. Tapi tak jua kunjung datang. “Cinta kemana engkau pergi, mengapa engkau meninggalkan hatiku?”, tanyaku sedih menahan rindu. Kubaca teks Kitab Suci yang terletak di bantal bulat. Kerinduan itu semakin kuat memenuhi hatiku. Bapa, satu suara tanda cinta telah meninggalkan hatiku saat aku sangat merindukannya.
Kupakukan tatapanku pada nyala lilin kecil di sudut doaku dan mencoba berkonsentrasi merenungkan teks yang telah kubaca berulangkali. Aku mencoba mengabaikan kerinduanku tapi tidak bisa. Bahkan kini aku merindukan suara dari seorang yang juga dua hari lalu kudengar dari kamarku saat aku memulai meditasiku. Suara itu bukan memanggilku. Suara yang sebenarnya tidak asing bagiku. Hampir 40 hari ini aku tinggal bersama dia, berbicara, bercanda, olahraga, makan dan rekreasi. Bahkan baru tadi pagi aku bertemu dan berbicara dengan dia di ruang 13 A, berbagi pengalaman doaku. Karena beliaulah yang dipilih Tuhan membimbingku dalam retret menutup khursus Persiapan Kaul Kekal kali ini. Tapi entah mengapa sore ini aku rindu mendengar suaranya melintas lewat jendela kamarku. Aku tidak berharap dia memanggilku, aku tidak rindu bertemu atau bertegur sapa. Aku hanya ingin mendengar suaranya. Menit-menit berlalu suara itu tak kunjung terdengar olehku. Tiba-tiba seekor nyamuk menari-nari di depanku. Ngiiing... aku mendengarkannya. Suaranya tidak mampu menggantikan suara yang kurindukan sore ini. Paaaak aku bertepuk keras, nyamuk kecil mati. Korban mutilasi pikirku.
Ade ada apa denganmu? Kutanya diriku. Mengapa suara itu tidak menyapa hatiku? Ade, dua suara engkau rindukan sore ini dan dua suara itu telah meninggalkan hatimu. Tuhan mengapa semua ini terjadi? Dalam dunia nyatapun aku merasa telah ditinggalkan, dalam permenungan dan kontemplasipun aku berjalan sendirian dan ketika aku bertanya tak sepatah katapun kudengar dariMu. Aku sendirian dalam kerinduan yang tidak kumengerti.
Kucoba sekali lagi membaca teks Kitab Suci. Berlahan kutarik nafas panjang dan dalam. E...hemmmm hahh kuhembuskan cepat-cepat. Kuyakinkan hatiku bahwa suara itu tidak meninggalkanku. Suara itu sedang berkelana. Dia akan pulang menemui dan menyapa hatiku yang rindu pada saat dan waktu yang tepat. Kuulangi kata bijak yang tercatat di hatiku “Manusia hidup, menderita dan mati dan yang paling lama bertahan adalah cinta.” Aku yakin itu, bahkan cinta tidak hanya bertahan lama tapi selama-lamanya. Akhirnya aku masuk dalam kontemplasi dan sampai pada situasi indah. Ananias menatapku dan berkata “Tuhan mencintaimu”. Aku menjawab, “Aku percaya Tuhan mencintaiku”.
Di penghujung kontemplasiku aku bersyukur dan ada sesuatu yang lebih menakjubkan lagi. Suara burung yang kurindukan riuh di samping kamarku, lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Di penghujung permenungan itu juga, dia sipemilik suara yang kurindukan hadir dihadapanku dengan tersenyum. Cinta selamat datang. Aku bahagia. Cinta telah pulang menyapa dan memenuhi kerinduanku. Inilah cinta sejati. Cinta yang tidak hilang. Berlahan kubuka mataku. Aku percaya Dia yang menanamkan kerinduan agar aku mengerti akan arti “cinta”. Saat aku rindu dan sangat rindu, dia hadir pada saat dan waktu yang tepat. Ya itulah cinta sejati-cinta yang tidak pernah sendiri dan takkan mati. Aku yakin, bahwa aku tidak pernah sendiri menapaki jalan hidup ini. Ada Dia yang mencintaiku, hadir dalam setiap peristiwa hidupku, dalam lembutnya alunan nada, rinai hujan, melalui setiap orang. Cinta ada dan hadir dalam segala sesuatu.
Permenungan, refleksi dan keyakinanku ini diteguhkan oleh P. Michael yang setia membimbingku. Dengan lembut beliau berkata, “Hidup tidak pernah terlepas dari cinta. Tidak ada seorangpun yang mampu menjalin relasi yang indah dengan Tuhan dan sesama, jika ia tidak punya cinta. Seorang selibater tidak mungkin mampu mempersembahkan dirinya secara utuh kepada Tuhan jika ia tidak punya cinta”. Aku meyakini dan mengamini pendapat beliau. Bagaimana aku mencintai Tuhan bila aku tidak mampu mencintai sesamaku? Bagaimana aku mengatakan aku cinta kepada Tuhan, kalau aku tidak pernah merasakan rindu yang mendalam kepadaNya? Bagaimana aku tahu dan yakin Tuhan yang kurindukan mencintai aku bila kehadiranNya tidak membahagiakan hatiku dan tidak mengobati rasa rinduku? Bila aku tidak pernah mampu merasakan kehadiranNya pada saat dan waktu yang tepat?
“Jam berapa aku melintas dekat kamarmu sore ini De?,” tanya P. Michael mengakhiri sharing rohani kami. Aku tersenyum dan berkata, “tidak usah Pastor”. Hatiku semakin yakin Tuhanlah yang memilih beliau membimbingku dan Tuhan jugalah telah memuhi hatinya dengan cinta yang berbunga dan cinta itu dapat kurasakan sekalipun beliau tidak melintas dekat kamarku sore ini. Aku tetap yakin ada cinta untukku. Dia menemani hari-hari permenunganku dengan caranya sendiri sebagai bukti “cinta tidak pernah sendiri”. Hatiku dapat merasakannya. Cinta mengajariku berelasi, menumbuhkan dan memupuk kebahagiaan dalam hatiku, dalam setiap gerak langkahku dan dalam setiap lorong hidupku. Cinta telah mengajari aku mencintai Tuhan dengan cinta tak terbagi.
Pada hari terakhir retret, keyakinanku akan kekuatan cinta sudah teruji dan aku pun akan menebar cinta. Dalam bimbingan terakhir aku mesharingkan keindahan perjalanan retretku dari hari pertama sampai hari terakhir. Aku mengalami suatu gerak yang indah. Satu pertanyaan dari P. Michael, “Ade, dari semua permenungan, dalam manakah Ade menemukan dan mengalami rahmat Tuhan yang sangat besar?” “Ketika aku sangat rindu mendengar dua suara dan suara itu hadir pada saat dan waktu yang tepat. Aku menyebutnya pengalaman cinta. Cinta yang tetap bertahan, karena itu saat ini aku siap untuk segala sesuatu kemungkinan yang bakal terjadi atas diriku,” jawabku sambil tersenyum. Beliau tersenyum dan mengangguk. Menguatkan keyakinan akan sejatinya cinta, aku membacakan puisi “Kutemukan cinta”, setelah itu aku dan P. Michael menyanyikan lagu “Here I am Lord” dengan suara serak-serak becek.
Mengakhiri pertemuan yang terakhir kami, P. Michael menyodorkan sebuah kartu ucapan selamat dengan dua kalimat tertulis indah dan sangat menyentuh hatiku. “Karena Engkau Tuhan menyuruhku, maka aku datang”. “Cinta tidak pernah sendiri dan tidakkan mati”. Aku sangat bahagia dan sekarang cinta itu terbukti. Kalimat pertama adalah kata yang kuucapkan saat aku merasa sendirian, lelah dan Tuhan menatapku lembut. Kalimat kedua adalah keyakinanku setelah hatiku dikunjungi oleh dua suara itu. Dan saat itulah aku merasakan rahmat Allah. Dan semua ini dibaca oleh pembimbingku. Aku yakin ini semua karena cinta yang telah ditumbuhkan oleh Tuhan. Cinta itu mengerti. Kerinduan adalah bukti cinta. Tuhan senantiasa mencintaiku bahkan ketika hatiku sunyi merasa ditinggalkan dan tidak mampu merasakan kehadiran cintaNya.
Paulo Coelho dalam bukunya “By The River Piedra I Sat Down And Wept” mengatakan:
“Cinta telah ada sebelumnya dan akan berlangsung selama-lamanya. Cinta tidak berubah. Semakin kita mencintai, semakin kita dekat dengan pengalaman spiritual. Mereka yang benar-benar dicerahkan dan jiwanya diterangi oleh cinta sanggup mengatasi setiap rintangan dan prasangka zamannya. Mereka dapat bernyanyi, tertawa dan berdoa dengan lantang; mereka mengalami apa yang oleh St. Paulus disebut “kegilaan yang kudus”. Mereka bahagia karena orang-orang yang mencintai akan menaklukkan dunia dan tidak takut kehilangan. Cinta sejati adalah penyerahan diri seutuhnya”.
Aku yakin cinta Tuhan tidak akan berlalu. Masih banyak kisah cintaku, hari inipun kisah cinta itu ada antara aku dan Dia, aku dengan kamu. Sekalipun aku harus menangis di tepi sungai Piedra karenanya. Sungai yang membekukan setiap tetas air mataku menjadi dasar sungai. Aku tetap yakin cinta abadi. Keyakinan akan kesetiaan CINTA memberi aku keberanian untuk mengikrarkan kaul kekal pada tgl 29 September 2009.
ADE FSE