Entri Populer

Kamis, 27 Mei 2010

Temani Aku Malam Ini

“Temani aku malam ini ya”, kata seorang susterku ketika makan malam. "Ya, bisa”, jawabku pelan. Malam itu memang aku menemaninya dari pukul 21. 45 WIB sampai 02. 45 WIB pagi.
Menemani dia berarti, siap menahan dinginnya angin malam, serangan nyamuk-nyamuk dan berbaring di kursi rotan yang dibariskan sebagai ganti tempat tidur atau membentangkan tikar di lantai semen yang tentunya akan menularkan rasa dingin ke seluruh tubuh.
Aku menemani dia mengerjakan tugas Mazmur, di ruang komputer. Aku duduk di dekatnya dan membaca Kitab Hukum Kanonik. Sebenarnya aku ingin menemaninya dengan duduk setia bersamanya sampai tugasnya selesai. Tetapi aku tidak bisa menahan rasa ngantuk. Aku akhirnya tertidur bersama buku KHKku sedangkan dia masih bergulat dengan tugas Mazmurnya.
“Ade, ayo bangun, sudah selesai”, kudengar suaranya berat. Aku bangun, menggosok kedua mataku dan melirik jam dinding tua berwarna kuning, jarum jam menunjuk pukul 02. 45 WIB. “Sudah selesai?”, tanyaku, sambil merapikan buku-bukuku. “Sudah”, sahutnya singkat. Dengan mata yang berat kami melangkah meninggalkan ruang komputer yang dingin dan dihuni oleh beberapa ekor saudara nyamuk itu.
Dua hari berikutnya, giliranku yang harus menyelesaikan tugas Kristologi. Ketika makan malam aku meminta kepadanya agar menemaniku malam itu. “Temani aku malam ini ya”, pintaku padanya. Dan malam itu dia menemaniku mengerjakan tugas Kristologiku.
Aku melirik petunjuk waktu di sudut kanan komputer, ternyata sudah pukul 23.13 WIB. Kulihat dia mulai menguap menahan ngantuk. Beberapa waktu kemudian dia mengambil posisi strategis untuk tidur di tikar berukuran 1 X 2,5 M yang dibentangkannya sejak masuk di ruang komputer itu. Selamat tidur kawan kataku dalam hati. Selama mengetik tugasku, aku sekali-kali meliriknya, dia nampak tidur tenang tanpa beban. Sementara aku masih harus berkutat dengan tugasku, berjuang melawan rasa ngantuk, lelah, dingin dan gigitan nyamuk yang menyerbu kakiku.
Pukul 02.57 WIB, tugasku rampung. Aku mematikan komputer dan merapikan buku-bukuku. Aku melihat suster yang menemaniku tidur pulas, sehingga aku enggan membanguninya. Aku membariskan 3 buah kursi rotan di dekatnya dan berbaring di sana sampai pukul 04.00 WIB. Ketika aku bangun temanku masih tidur pulas. Mengingat, kami akan berdoa pukul 04.30 WIB, maka aku membangunkannya dan kami beranjak ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap berdoa.
“Temani aku malam ini”, ungkapan ini selalu kami ucapkan ketika kami butuh teman mengerjakan tugas di ruang komputer. Dan pasti tidak ada diantara kami yang keberatan. Tetapi yang sering terjadi adalah yang menemani tidur pulas, sedangkan yang minta ditemani berjaga sampai pagi. Bahkan harus membangunkan yang menemani. Meskipun yang menemani tertidur, tetapi aku tetap merasa aman dan tenang mengerjakan tugasku di ruangan yang sepi itu.
Kejadian ini mengingatkan aku ketika Yesus meminta tiga orang murid-Nya menemani Dia berdoa di Getsemane. Murid itu tertidur dan Yesuslah yang membangunkan mereka. Padahal seharusnya yang menemanilah yang berjaga bukan sebaliknya malah tidur.
Aku sadar menjadi teman yang setia butuh perjuangan, pengorbanan dan harus mampu merasakan apa yang sedang dialami oleh orang yang kutemani. Setiap orang butuh teman untuk menemani paling tidak duduk di sampingnya. Alangkah senangnya saat merasa lelah, ada teman di samping kita.
Betapa istimewanya manusia, meskipun dia tertidur tapi tetap mampu memberikan sesuatu yang berarti yang tidak bisa diberikan oleh benda lain. Di ruang komputer itu ada tiga unit komputer, kabel, kursi, meja, tumpukan buku, keranjang sampah dsb. Tetapi benda-benda itu tidak cukup sebagai teman. Ketika mengerjakan tugas di ruangan itu kami selalu berkata, “temani aku malam ini ya”, meskipun yang menemani biasanya tertidur dan harus dibangunkan, tetapi manusia punya arti dan peran istimewa yang tak pernah bisa digantikan oleh apapun.

Adeline Albine Sitepu FSE