Entri Populer

Kamis, 08 Juli 2010

Dikejarkah KIta

Dikejarkah Kita?

Rasa lelah dan penat menyatu dalam jiwa dan raga. Ingin rasanya cepat tiba di komunitas dan mengguyur tubuh dengan air sumur, makan dan tidur dalam mimpi indah. Sejak pukul 05.30 pagi sudah meninggalkan komunitas dan sekarang hampir jam tujuh malam.
Aku dan seorang suster menuju parkiran dan kami melaju dengan motor bernomor polisi AB........sambil bernyanyi kecil ”Lord..make me instrumen of Thy peace... yang diaransemen oleh Don Marsh, aku duduk sopan dibelakang susterku yang konsentrasi penuh mengendarai motor.
Sejak sore kami memang latihan koor untuk konser kecil-kecilan di kampus Maklum saja latihan terakhir jadi menyita waktu banyak. Bernyanyi sepuluh lagu secara berulang-ulang membuat kerongkongan kering, dan seluruh tubuh rasanya remuk
Tiiiiit, pom....suara klakson ramai membuatku tersentak. Serta merta aku berhenti bernyanyi tepat pada syair where there is despair hope. Kita bablas kata suster yang menjadi pembalap malam itu. Kami terperangkap di tengah jalan karena seharusnya kami berhenti karena dari arah kami lampu berwarna merah yang bersinar terang.
“Ade..ada pak polisi, dikejarkah kita?’’, tanyanya dan terus melaju. Aku menoleh dan berkata, ya biar saja kita dikejar, kita lanjut saja kalau disuruh berhenti kita berhenti, jawabku tanpa ada rasa bersalah sambil senyam-senyum.
Beberapa waktu kemudian seorang yang berseragam lengkap mendahului kami dan berkata, “berhenti di depan. Aku tahu kata-kata itu ditujukan kepada kami. Terjadilah transaksi antara kami bertiga di pos polisi.
Pak polisi dengan ramah menjelaskan bahwa kami telah melanggar rambu-rambu lalulintas yang menyebabkan orang lain tergangu dan bahkan sangat mungkin menyebabkan kecelakaan. Rasanya tidak ada lagi alasan untuk membenarkan diri. Kami menyerah kalah karena memang kami bersalah. Maksud hati cepat sampai di komunitas, ternyata cepat sampai di pos Polisi, keluhku dalam hati.
Dalam hidup sehari-hari kita memang sering membela diri, sudah tahu salah tapi tidak mau menyerah sebelum dikejar dan ditangkap. Kita seringkali mencari celah untuk menyelamatkan dan membenarkan diri.
Kami tahu, kami salah karena melanggar rambu-rambu lalu lintas dan seharusnya kami berhenti dan mengaku salah. Tetapi kami terus melaju meski sudah dikejar. Kami berhenti ketika disuruh berhenti dan harus kembali ke pos polisi yang jaraknya semakin jauh karena ulah kami sendiri. Seandainya kami cepat berhenti pasti kami tidak perlu menenpuh jarajk yang begitu jauh ke pos Polisi.
Seandainya dalam hidup aku berbuat kesalahan dan dalam kesadaran penuh mengakuinya dan minta maaf secepat mungkin pasti urusannya tidak perlu dalam waktu yang lama. Tapi kenyataannya kesalahan itu kubiarkan berlarut-larut menunggu orang lain mengejar dan mengingatkan.
Adeline Albine Sitepu FSE

SEPATU

Sepatu IPPAK

Sepuluh menit berlalu aku duduk di koridor kampus menunggu teman-teman yang akan praktek Micro Teaching. ”Mengapa belum juga ada teman yang datang?”, tanyaku kepada teman sebelahku yang lebih dulu tiba dari aku. ”Entahlah Suster, tapi sepertinya masih ada mahasiswa dari prodi lain yang praktek di laboratorium”, jawabnya sambil melirik jam tangannya.
Menurut jadwal, seharusnya giliran kami yang praktek di laboratorium. Jangan-jangan teman-teman sudah mulai lebih awal tanyaku ingin tahu. Kami berniat masuk ke laboratorium, tapi ada rasa enggan karena kami sangka masih ada yang sedang praktek Micro Teaching di sana.
Aku mencoba untuk mengintai siapa yang sedang praktek, tapi ternyata mataku tidak mampu menembus tembok itu. Aku kembali mendekati temanku yang sudah mulai gelisah karena sudah terlalu lama menunggu. Dalam kegelisahan dan penantian itu seorang teman datang terburu-buru dan bertanya,”kog belum masuk suster?” ya belum ada orang jawabku singkat. Tapi kan seharusnya kita masuk sejak dua puluh menit yang lalu sambungnya. Oya, teriakku tersentak, tapi kog nggak ada yang datang .
Kami masih ragu siapa sebenarnya yang sedang praktek, mau melihat tidak ada lubang untuk mengintai, mau mendengarkan suara teman yang sedang praktek juga tidak kedengaran. Akhirnya kami sepakat mencari tahu dengan cara alternatif, jitu dan tepat sasaran. ”Bagaimana kalau kita lihat saja sepatu di rak?”. Usul diterima. Kami menuju rak sepatu, serentak kami berseru hei ini sepatu IPPAK, berarti teman kita sudah mulai dari tadi. Seperti seorang yang menemukan fosil tua kami memperhatikan sepatu yang rapi tersusun seperti roti siap dipanggang. Yaa.. ini sepatu kak Sebel, ini sepatu Simamora, ini sepatu si anu dan seterusnya. Ya benar, semua ini sepatu IPPAK, lanjutku sambil menunjuk sepatu di rak.
Tanpa diskusi lebih lanjut kamipun menanggalkan sepatu, meletakkannya pada deretan sepatu IPPAK. Berlahan kami membuka pintu laboratorium. Benar teman-teman kami sudah mulai praktek dua puluh menit yang lalu. Kami tersenyum dan mengambil tempat duduk bagian belakang. Mata teman-teman yang sedang praktek Micro Teaching menyambut kami dengan ramah.
Duh untung ada sepatu di rak kalau tidak pasti kami tetap menunggu diluar sampai matahari terbenam. Sepatu itu telah menjadi petunjuk bagi kami untuk menemukan teman-teman yang kami tunggu-tunggu yang ternyata telah mendahului kami seperti fajar mendahului siang.
Mengenal seorang bukan hanya lewat wajah, tapi juga lewat segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Perkenalan kami sebagai mahasiswa IPPAK (Ilmu Pendidikan Kekhususan Pengetahuan Agama Katolik) bukan sekedar sebagai rekan mahasiswa tetapi kami menjadi sahabat satu sama lain. Kampus kami seperti sebuah komunitas kecil yang anggotanya hidup rukun, saling mendukung, saling mengenal secara mendalam, mulai sifat, sikap, hoby dan bahkan sepatu. Kami adalah keluarga rohani yang damai meski sebenarnya kami banyak perbedaan baik, usia, latar belakang dan sebagainya. Tetapi perbedaan itu menjadi keunikan dan tanda pengenal kami masing-masing. Meskipun kami tidak melihat wajah teman kami, melalui sepatunya pun kami bisa mengenalnya. Bukan hanya orangnya yang menjadi mahasiswa IPPAK tapi seluruh kepribadianya termasuk sepatunya pun IPPAK, sehingga dengan sepatu itu kami dapat mengenali teman-teman kami.
Alangkah bahagianya saling mengenal secara mendalam. Seandainya perkenalan dengan sesama tidak sekedar kenal wajah pasti akan menggembirakan seperti yang kami alami di komunitas kami di kampus IPPAK
Adeline Albine Sitepu FSE