Entri Populer

Jumat, 06 Agustus 2010

AKU PERGI

hari belum senja
tapi langkahku hampir berakhir
jangan menangis
aku bahagia

dekat di sampingku
aku ingin bercerita
tentang langit biru dan camar
tentang semua

sebentar lagi lidahku kan kelu
tubuhku biru
aku berlalu
jangan memanggilku

aku ingin bersamamu
arungi hidup
tapi...
aku akan lalu

mama....
tolong sisir rambutku
kenakan gaun putih itu
duduk disampingku
nyayikan lagu di telingaku

temani aku mama
melepas desah nafasku
jangan tinggalkan aku mama
tersenyum mama

lihat Dia datang
menyambut tanganku
aku bersamanya mama

disana aku kan bahagia
tidak ada keluh
tidak ada desah nafas yang sesak
mama biarkan aku

ade FSE

GARA-GARA I MISS YOU

Ada surat, for my love sister, kata pikoku sambil melirik amplop berwarna pink yang terletak dekat white board. Sebenarnya ketika menuju kapel, aku sudah melirik amplop dan aku tahu itu untukku. Tapi sebagaimana aturan yang ditetapkan ketika aku menginjakkan kaki di rumah pembinaan ini, bahwa segala sesuatu harus sepengetahuan dan seijin piko tak terkecuali surat bersampul pink. Maka akupun mengajak hatiku untuk bersabar sampai doa rosario dan doa salib selesai
Pikoku mengambil amplop itu. “Huuu….ada surat untukmu….berwarna pink..”, lanjut pikoku sambil melirikku setelah beliau mengucapkan terpujilah Yesus Kristus sebagai pertanda bahwa kami sudah bisa minum sore dan makan biskuit. Pandanganku mengikuti gerakan tangan pikoku. Kok bisa dapat surat seperti ini tanyanya. “Suster itu dari kakak saya”, jawabku. Tapi tampaknya pikoku meragukan penjelasanku. Kuperhatikan jari-jarinya mulai menyobek bagian pinggir amplop surat kakakku. Empat lembar perangko tercecer jatuh mengenai sandalnya. “Ooooo ada perangko balasan lagi”, katanya dengan nada suara yang menyiratkan kecurigaan. Aku hanya diam, menungggu saat pikoku memberi kesempatan padaku menjawab pertanyaannya yang sambung-menyambung sejak melihat amplop berwarna pink itu. Berlahan beliau membacakan kartu yang juga berwarna pink di depan teman-temanku bak menyampaikan pengumuman…
“Dear my love sister Happy valentine day….
I miss you so much…….
Koq kamu dapat kartu valentine pakai I miss you 2x so much dari laki-laki, siapa ini? tanyanya lagi. Suster, dia kakakku satu-satunya. Dia memang laki-laki. Kami memang dekat. Saya sudah biasa mendapat kartu valentine dari kakak”, jawabku. Dalam bimbingan aku jelaskan bahwa aku dari kecil selalu bersama kakakku aku tidak punya saudara yang lain hanya dia satu-satunya. Dia mengasihi aku dan menyayangi aku. Sampai sekarangpun kalau kakak mengirim pesan lewat email atau facebook sekalipun sekarang sangat jarang, kakak selalu menuliskan pada bagian akhir “ my love sister I love you I miss you so much see you… Kadang kita salah memaknai kasih dan sayang. Kasih, cinta dan sayang adalah milik kita bersama. Kita bisa mengatakan I miss you so much….. kepada orang-orang yang kita kasihi dan mengasihi kita. Hahaha…. my old brother I miss you to….
Adik Ade Sitepu
Yogyakarta

NYANYIAN HATI SEBUTIR NASI

Ia sebutir nasi, menanti lenyap. Ia pernah mengeluh, menangis.
Ia pernah tersenyum dan tertawa. Ia punya kisah, punya kenangan.
Ia punya semua itu dan sekarang ia tinggal sendirian bersama segerombolan semut merah.
Ia berkisah tentang hidupnya kepada semua yang mendengarnya:

aku sebutir nasi, terlupakan di tepi laut. Gulungan ombak menjemputku membawaku kedunianya yang sangat asing. Aku menari dalam pelukannya. Tubuhku terasa dingin, kaku dan lelah. Gelombang itu mempermainkan aku di dunianya. Aku terhempas terbentur pada sebuah karang. Aku lelah. Aku bersandar pada karang itu, melepas lelah.
Dia mengajariku menari dan bernyanyi dalam kepedihanku yang sangat pedih. Ia membiarkan aku menyandarkan seluruh perasaanku padanya.
Aku belajar tersenyum di tengah laut yahg dingin, aku belajar menerima hidup. Aku tak mungkin pulang ke duniaku. Aku jauh di tengah laut. Aku belajar hidup, belajar bertahan.
Saat aku mulai mampu berdiri dan bernyayi gulungan ombak menyapaku ganas ia mengurun aku dalam pelukannya yang asing. Karang itu tidak mampu menahanku.

Aku berputar, karam dan...aku tidak tahu lagi. Aku lelah, capek, perih, pedih, sakit. Seluruh hatiku remuk. Aku tidak bisa lagi menangis aku hanya diam menanti kenyataan yang akan menyambutku. Menanti apa yang di depanku. Aku lelah. Aku tidak punya tempoat bersandar. Aku sendirian dalam lelah, aku habis. Tidak satupun yang mengerti.
Gelombang itu mempermainkan aku. Aku terombang ambing. Aku meringis.
Dengan kejam ia hempaskan aku ke tepi pantai. Ke duniaku. Aku remuk. Aku tidak mampu menikmati hangatnya sapaan sang bayu, aku tidak sanggup lagi menikmati hangatnya sang surya. Aku lelah. Aku menanti, munkin akan ada yang mnenyapaku, menyentuhkan jemarinya di tubuhku yang remuk.

Aku bergerak berlahan, aku melihat serombongan semut merah menyapaku. Aku sadar aku tidak punya tempat lagi di dunia ini aku akan habis.
Dalam lelah aku berkata, "semut, sahabatku lakukan apa yang ingin engkau lakukan,biarlah aku habis. Biarlah sisa hidupku dapat membahagiakanmu. Aku senang".
Sebutir nasi ia tersenyum menyaksikan tubuhnya habis. Ia bersyukur pernah ada di bumi ini meski ia harus menanggung banyak kesakitan dan kepedihan. Ia bahagia.
Ia hanya sebutir nasi yang terabaikan, namun tidak menyerah. Ia bernyanyi untukmu kawan, untukmu sahabat. Ya untuk mu semua. Kini ia sendirian dalam lukanya, ia tidak mengeluh. Ia menangis ia bahagia pernah mengenalmu. Ia bahagia pernah diombang-ambingkan ombak. Ia bahagia pernah bersandar pada sebuah karang. Ya ia bahagia. Kini ia akan habis dalam perjalanan waktu.

ADE FSE

BAPA ADE MAU TANYA

Bapa andai aku sudah di sana.....
apakah aku masih bisa melihat mereka?
dan....apakah mereka juga dapat melihat aku?

Bapa aku tidak meragukan kuasaMu yang tidak terbatas itu
Bukannya aku mau mendahului keputusan-Mu ataupun merubahnya
Aku yakin akan keindahan tempat yang Engkau janjikan
Aku percaya akan kebahagiaan ada di sana

Tapi....
sebelum aku ke sana
ada yang ingin aku tahu Bapa
tentang orang-orang yang kukasihi dan kucintai

Bapa Engkau tahu....
Aku tidak ingin mereka bersedih dan menangis
Aku mengasihi mereka

Bapa......
andai suatu saat mereka rindu padaku
apakah mereka dapat melihatku????

Dan.....
jika aku rindu apakah aku dapat melihat mereka
dan....
andai aku dapat melihat mereka

Tapi ... aku melihat mereka menangisi batu nisanku
jika aku mendengar suara pilu hati mereka
apakah aku dapat menghibur mereka?

Bapa......
maukah Engkau menghibur mereka yang kukasihi dan kucintai
Bapa ......
untuk saat ini aku ingin sendiri
aku tidak ingin lagi membuat kenangan
yang membuat mereka makin pilu

Bapa salah aku menanyakan ini????

ADE FSE

SAAT

Andai hariku lalu
Nafasku terpisah dari badanku
Dan rohku kembali kepadaMu

Masih dapatkah aku memandang
Orang-orang yang kukasihi
Masihkah aku dapat mengucapkan
Kata penuh kasih dan cinta
Untuk mereka yang kucintai?

Andai nanti tiada tempat kediaman bagiku
Di permukaan bumi ini
Masihkah aku dapat memegang
Tangan orang yang kukasihi?
Masihkah aku dapat menyapa mereka?

Kalau aku ada di depan mereka
Masihkah mereka melihat aku
Dan menyapa aku seperti waktu kami bersama-sama
Masihkah mereka merasakan kehadiranku?

Kalau aku rindu...
Mungkinkah aku makan semeja dengan mereka?
Menghabiskan segelas air berwana bening?

Andai semuanya itu mungkin
Aku tidak akan kehilangan suatupun
juga mereka
Aku dapat bersama mereka

Tapi kalau memang itu mungkin
Apa bedanya aku hidup atau mati
Apa perbedaaan antara hidup dengan mati

Adakah rohku bebas
Dari penjara tubuhku
Kalau bebas tubuh tanpa roh
Siapakah aku
Masihkah aku

Siapa yang bernama Ade
Tubuhku yang mati atau...rohku yang bebas
Adakah yang pernah yang disebut “manusia”
Pada tubuh tak bernyawa
Bukankah selama ini disebut “mayat”

Aku berpikir
Jika memang semua itu tidak mungkin
Aku mengatakan
Itulah yang membedakan kehidupan dan kematian

Tubuh dan roh
Itulah manusia-hidup-kehidupan
Tubuh tanpa roh
Itulah mayat-mati

Kehidupan berseberangan
Dipisahkan dinding kaca tipis dan bening
Mereka sama-sama memandang
Tapi tidak bersentuhan
Mereka sama-sama menatap
Tapi tidak pernah saling melihat

Mereka bertanya
“mengapa engkau tidak melihat aku?
Mengapa engkau tidak mendenganr suaraku?

Bapaku ya bapaku
Engkau yang memiliki aku

Jika waktu dan saat itu menyentuhku
Aku akan turut

Aku minta....
Lindungi mereka yang kukasihi dan kucintai
Jaga hatinya agar tidak pedih menatap tubuh yang biru
Jaga matanya agar tidak menitikkan tetes air mata menangisi bibir yang beku
Jaga lidahnya agar tidak memanggil namaku dekat nisan bisu
Tuntun langkahnya agar tidak mencari aku dalam hampa

Dan aku.............
Biar ada di tempat yang Engkau kehendaki
Jangan biarkan aku merindukan mereka
Tubuhku biarlah biru, beku, kaku dan
habis dalam himpitan tanah merah

Dan andai suatu saat bertemu
Biarlah kami bertemu di hadiratMu
Biarlah kami diam di ribaanMu

Bapa aku tidak menolak kehidupan dan mengundang kematian
Karena penderitaan dan rasa sakit
Juga tidak menahan kehidupan dan menolak kematian
Karena kegembiraaan dan kebahagiaan

Semua terserah padaMu
Ada pada saatnya
Tiada pada waktunya
Kapan, dimana?
Pada waktu dan saat yang tepat.

ADE FSE

kuawali di Shantikara dan kuselesaikan di Nagahuta k. 7C

Selamat Tinggal Sang Kekasih

“Berbahagia karena engkau punya cinta, untuk kau nyatakan kepada orang yang engkau cintai. Tapi engkau juga harus menyiapkan hatimu menerima sesuatu yang sungguh tidak engkau harapkan dari orang yang engkau cintai. Keterbukaan hatimu untuk menerima kenyataan ini adalah bukti cintamu yang sangat besar untuk orang yang sungguh engkau cintai. Mungkin engkau akan kecewa dan menangis, tapi yakinlah semua itu merupakan tanda cintamu yang murni.....................dst
..................................
Percayalah segala kebaikan, kasih, perhatian dan segala sessuatu yang terindah darimu akan kucatat di hatiku.
Aku berharap semoga engkau yang mencintaiku dan yang kucintai menemukan cinta yang terindah dalam hidup ini. Aku mendoakanmu dengan penuh cinta. Yakinlah banyak orang yang mendambakan dan membutuhkan cinta dan mencintaimu. Saat ini aku berkata
Semua untuk Tuhan.... Selamat Tinggal Kekasihku

Dariku yang engkau cintai dan mencintaimu
Ade Albine’s FSE
Kutulis di Kota Gudeg-kuselesaikan saat Musim panas di San Dammiano Juni’ 09

Percakapan di Sebuah Persimpangan

Aku berdiri di sana,
di sebuah persimpangan jalan dan bergulat dengan rasa dan pikiranku sendiri.
Di sana aku kalut.
Di sana aku berdiri seperti patung tak bernyawa dengan hati yang gundah gulana.

Bukan karena aku lelah melangkah maka aku diam di sana,
tapi karena aku tidak tahu ke mana harus melangkah.
Aku melihat dua jalan membentang di hadapanku.
Jalan yang tidak dapat kubedakan dengan pandangan mata dan pikiranku.

Aku tidak lagi menemukan jejak tempat aku menempatkan telapak kakiku.
Yang aku tahu adalah bila aku melangkah setapak saja,
aku akan masuk ke salah satu sisi jalan dan meninggalkan jalan yang lain.
Tapi aku sendiri tak tahu jalan mana yang seharusnya aku jalani.
Dalam kebingungan itu aku tidak ingin membuat keputusan
dan aku tidak mampu membuat keputusan.

Di persimpangan itu aku berdiri menatap ke sekelilingku, aku menemukan hiruk-pikuk kehidupan yang menawarkan keindahan untukku.
Haruskah aku memilihmu?
Tidak, aku tidak mau. Hatiku berontak!

Aku tidak dapat membuat keputusan.
Aku diam.
Apa yang harus aku lakukan? Di persimpangan ini?
Ya.... Di persimpangan itu...
dalam kegundahan dan kebingungan aku duduk bersila,
memejamkan kedua mataku, mengatupkan bibirku,
membuka kedua tanganku,
membiarkan hatiku diam.
Aku berharap dalam diam, dalam hening dan sepi
akan ada suara yang menuntun aku.

Ya.... dalam diam itu Dia datang menemuiku.
Ia berbicara tentang perjalananku.
Tuhan aku tidak menemukan jejak kaki Mu yang biasanya kuikuti", kataku dengan hati sedih.
Ia menjawabku, "AnakKu, jejak kakiKu selalu ada tapi engkau tidak melihatnya".
Ia memberiku sebuah obor bernyala untuk menerangi jalanku agar aku dapat melihat dengan jelas jalan yang dilalui telapak kaki-Nya, dan aku mengikuti Dia.
Ia menuntun aku berjalan.
Dan aku menurutiNya.

Aku melangkah di dunia nyata dengan cahaya obor yang aku peroleh dari padaNya.
Dan jalan itu adalah jalan yang sedang kujalani saat ini.
Di jalan inilah aku menemukan jejak kaki-Nya.
Semua berawal dari persimpangan itu.

Di Persimnpangan itu kami bertemu.
Di persimpangan itu kami bercakap-cakap.
Di persimpangan itu aku diam dan mendengarkan Dia.
Di persimpangan itu aku menerima terang.
Di persimpangan itu aku meninggalkan satu jalan yang pernah membuatku bingung.

Terimakasih persimpangan.......

Ade FSE

Kamis, 08 Juli 2010

Dikejarkah KIta

Dikejarkah Kita?

Rasa lelah dan penat menyatu dalam jiwa dan raga. Ingin rasanya cepat tiba di komunitas dan mengguyur tubuh dengan air sumur, makan dan tidur dalam mimpi indah. Sejak pukul 05.30 pagi sudah meninggalkan komunitas dan sekarang hampir jam tujuh malam.
Aku dan seorang suster menuju parkiran dan kami melaju dengan motor bernomor polisi AB........sambil bernyanyi kecil ”Lord..make me instrumen of Thy peace... yang diaransemen oleh Don Marsh, aku duduk sopan dibelakang susterku yang konsentrasi penuh mengendarai motor.
Sejak sore kami memang latihan koor untuk konser kecil-kecilan di kampus Maklum saja latihan terakhir jadi menyita waktu banyak. Bernyanyi sepuluh lagu secara berulang-ulang membuat kerongkongan kering, dan seluruh tubuh rasanya remuk
Tiiiiit, pom....suara klakson ramai membuatku tersentak. Serta merta aku berhenti bernyanyi tepat pada syair where there is despair hope. Kita bablas kata suster yang menjadi pembalap malam itu. Kami terperangkap di tengah jalan karena seharusnya kami berhenti karena dari arah kami lampu berwarna merah yang bersinar terang.
“Ade..ada pak polisi, dikejarkah kita?’’, tanyanya dan terus melaju. Aku menoleh dan berkata, ya biar saja kita dikejar, kita lanjut saja kalau disuruh berhenti kita berhenti, jawabku tanpa ada rasa bersalah sambil senyam-senyum.
Beberapa waktu kemudian seorang yang berseragam lengkap mendahului kami dan berkata, “berhenti di depan. Aku tahu kata-kata itu ditujukan kepada kami. Terjadilah transaksi antara kami bertiga di pos polisi.
Pak polisi dengan ramah menjelaskan bahwa kami telah melanggar rambu-rambu lalulintas yang menyebabkan orang lain tergangu dan bahkan sangat mungkin menyebabkan kecelakaan. Rasanya tidak ada lagi alasan untuk membenarkan diri. Kami menyerah kalah karena memang kami bersalah. Maksud hati cepat sampai di komunitas, ternyata cepat sampai di pos Polisi, keluhku dalam hati.
Dalam hidup sehari-hari kita memang sering membela diri, sudah tahu salah tapi tidak mau menyerah sebelum dikejar dan ditangkap. Kita seringkali mencari celah untuk menyelamatkan dan membenarkan diri.
Kami tahu, kami salah karena melanggar rambu-rambu lalu lintas dan seharusnya kami berhenti dan mengaku salah. Tetapi kami terus melaju meski sudah dikejar. Kami berhenti ketika disuruh berhenti dan harus kembali ke pos polisi yang jaraknya semakin jauh karena ulah kami sendiri. Seandainya kami cepat berhenti pasti kami tidak perlu menenpuh jarajk yang begitu jauh ke pos Polisi.
Seandainya dalam hidup aku berbuat kesalahan dan dalam kesadaran penuh mengakuinya dan minta maaf secepat mungkin pasti urusannya tidak perlu dalam waktu yang lama. Tapi kenyataannya kesalahan itu kubiarkan berlarut-larut menunggu orang lain mengejar dan mengingatkan.
Adeline Albine Sitepu FSE

SEPATU

Sepatu IPPAK

Sepuluh menit berlalu aku duduk di koridor kampus menunggu teman-teman yang akan praktek Micro Teaching. ”Mengapa belum juga ada teman yang datang?”, tanyaku kepada teman sebelahku yang lebih dulu tiba dari aku. ”Entahlah Suster, tapi sepertinya masih ada mahasiswa dari prodi lain yang praktek di laboratorium”, jawabnya sambil melirik jam tangannya.
Menurut jadwal, seharusnya giliran kami yang praktek di laboratorium. Jangan-jangan teman-teman sudah mulai lebih awal tanyaku ingin tahu. Kami berniat masuk ke laboratorium, tapi ada rasa enggan karena kami sangka masih ada yang sedang praktek Micro Teaching di sana.
Aku mencoba untuk mengintai siapa yang sedang praktek, tapi ternyata mataku tidak mampu menembus tembok itu. Aku kembali mendekati temanku yang sudah mulai gelisah karena sudah terlalu lama menunggu. Dalam kegelisahan dan penantian itu seorang teman datang terburu-buru dan bertanya,”kog belum masuk suster?” ya belum ada orang jawabku singkat. Tapi kan seharusnya kita masuk sejak dua puluh menit yang lalu sambungnya. Oya, teriakku tersentak, tapi kog nggak ada yang datang .
Kami masih ragu siapa sebenarnya yang sedang praktek, mau melihat tidak ada lubang untuk mengintai, mau mendengarkan suara teman yang sedang praktek juga tidak kedengaran. Akhirnya kami sepakat mencari tahu dengan cara alternatif, jitu dan tepat sasaran. ”Bagaimana kalau kita lihat saja sepatu di rak?”. Usul diterima. Kami menuju rak sepatu, serentak kami berseru hei ini sepatu IPPAK, berarti teman kita sudah mulai dari tadi. Seperti seorang yang menemukan fosil tua kami memperhatikan sepatu yang rapi tersusun seperti roti siap dipanggang. Yaa.. ini sepatu kak Sebel, ini sepatu Simamora, ini sepatu si anu dan seterusnya. Ya benar, semua ini sepatu IPPAK, lanjutku sambil menunjuk sepatu di rak.
Tanpa diskusi lebih lanjut kamipun menanggalkan sepatu, meletakkannya pada deretan sepatu IPPAK. Berlahan kami membuka pintu laboratorium. Benar teman-teman kami sudah mulai praktek dua puluh menit yang lalu. Kami tersenyum dan mengambil tempat duduk bagian belakang. Mata teman-teman yang sedang praktek Micro Teaching menyambut kami dengan ramah.
Duh untung ada sepatu di rak kalau tidak pasti kami tetap menunggu diluar sampai matahari terbenam. Sepatu itu telah menjadi petunjuk bagi kami untuk menemukan teman-teman yang kami tunggu-tunggu yang ternyata telah mendahului kami seperti fajar mendahului siang.
Mengenal seorang bukan hanya lewat wajah, tapi juga lewat segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Perkenalan kami sebagai mahasiswa IPPAK (Ilmu Pendidikan Kekhususan Pengetahuan Agama Katolik) bukan sekedar sebagai rekan mahasiswa tetapi kami menjadi sahabat satu sama lain. Kampus kami seperti sebuah komunitas kecil yang anggotanya hidup rukun, saling mendukung, saling mengenal secara mendalam, mulai sifat, sikap, hoby dan bahkan sepatu. Kami adalah keluarga rohani yang damai meski sebenarnya kami banyak perbedaan baik, usia, latar belakang dan sebagainya. Tetapi perbedaan itu menjadi keunikan dan tanda pengenal kami masing-masing. Meskipun kami tidak melihat wajah teman kami, melalui sepatunya pun kami bisa mengenalnya. Bukan hanya orangnya yang menjadi mahasiswa IPPAK tapi seluruh kepribadianya termasuk sepatunya pun IPPAK, sehingga dengan sepatu itu kami dapat mengenali teman-teman kami.
Alangkah bahagianya saling mengenal secara mendalam. Seandainya perkenalan dengan sesama tidak sekedar kenal wajah pasti akan menggembirakan seperti yang kami alami di komunitas kami di kampus IPPAK
Adeline Albine Sitepu FSE

Kamis, 27 Mei 2010

Temani Aku Malam Ini

“Temani aku malam ini ya”, kata seorang susterku ketika makan malam. "Ya, bisa”, jawabku pelan. Malam itu memang aku menemaninya dari pukul 21. 45 WIB sampai 02. 45 WIB pagi.
Menemani dia berarti, siap menahan dinginnya angin malam, serangan nyamuk-nyamuk dan berbaring di kursi rotan yang dibariskan sebagai ganti tempat tidur atau membentangkan tikar di lantai semen yang tentunya akan menularkan rasa dingin ke seluruh tubuh.
Aku menemani dia mengerjakan tugas Mazmur, di ruang komputer. Aku duduk di dekatnya dan membaca Kitab Hukum Kanonik. Sebenarnya aku ingin menemaninya dengan duduk setia bersamanya sampai tugasnya selesai. Tetapi aku tidak bisa menahan rasa ngantuk. Aku akhirnya tertidur bersama buku KHKku sedangkan dia masih bergulat dengan tugas Mazmurnya.
“Ade, ayo bangun, sudah selesai”, kudengar suaranya berat. Aku bangun, menggosok kedua mataku dan melirik jam dinding tua berwarna kuning, jarum jam menunjuk pukul 02. 45 WIB. “Sudah selesai?”, tanyaku, sambil merapikan buku-bukuku. “Sudah”, sahutnya singkat. Dengan mata yang berat kami melangkah meninggalkan ruang komputer yang dingin dan dihuni oleh beberapa ekor saudara nyamuk itu.
Dua hari berikutnya, giliranku yang harus menyelesaikan tugas Kristologi. Ketika makan malam aku meminta kepadanya agar menemaniku malam itu. “Temani aku malam ini ya”, pintaku padanya. Dan malam itu dia menemaniku mengerjakan tugas Kristologiku.
Aku melirik petunjuk waktu di sudut kanan komputer, ternyata sudah pukul 23.13 WIB. Kulihat dia mulai menguap menahan ngantuk. Beberapa waktu kemudian dia mengambil posisi strategis untuk tidur di tikar berukuran 1 X 2,5 M yang dibentangkannya sejak masuk di ruang komputer itu. Selamat tidur kawan kataku dalam hati. Selama mengetik tugasku, aku sekali-kali meliriknya, dia nampak tidur tenang tanpa beban. Sementara aku masih harus berkutat dengan tugasku, berjuang melawan rasa ngantuk, lelah, dingin dan gigitan nyamuk yang menyerbu kakiku.
Pukul 02.57 WIB, tugasku rampung. Aku mematikan komputer dan merapikan buku-bukuku. Aku melihat suster yang menemaniku tidur pulas, sehingga aku enggan membanguninya. Aku membariskan 3 buah kursi rotan di dekatnya dan berbaring di sana sampai pukul 04.00 WIB. Ketika aku bangun temanku masih tidur pulas. Mengingat, kami akan berdoa pukul 04.30 WIB, maka aku membangunkannya dan kami beranjak ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap berdoa.
“Temani aku malam ini”, ungkapan ini selalu kami ucapkan ketika kami butuh teman mengerjakan tugas di ruang komputer. Dan pasti tidak ada diantara kami yang keberatan. Tetapi yang sering terjadi adalah yang menemani tidur pulas, sedangkan yang minta ditemani berjaga sampai pagi. Bahkan harus membangunkan yang menemani. Meskipun yang menemani tertidur, tetapi aku tetap merasa aman dan tenang mengerjakan tugasku di ruangan yang sepi itu.
Kejadian ini mengingatkan aku ketika Yesus meminta tiga orang murid-Nya menemani Dia berdoa di Getsemane. Murid itu tertidur dan Yesuslah yang membangunkan mereka. Padahal seharusnya yang menemanilah yang berjaga bukan sebaliknya malah tidur.
Aku sadar menjadi teman yang setia butuh perjuangan, pengorbanan dan harus mampu merasakan apa yang sedang dialami oleh orang yang kutemani. Setiap orang butuh teman untuk menemani paling tidak duduk di sampingnya. Alangkah senangnya saat merasa lelah, ada teman di samping kita.
Betapa istimewanya manusia, meskipun dia tertidur tapi tetap mampu memberikan sesuatu yang berarti yang tidak bisa diberikan oleh benda lain. Di ruang komputer itu ada tiga unit komputer, kabel, kursi, meja, tumpukan buku, keranjang sampah dsb. Tetapi benda-benda itu tidak cukup sebagai teman. Ketika mengerjakan tugas di ruangan itu kami selalu berkata, “temani aku malam ini ya”, meskipun yang menemani biasanya tertidur dan harus dibangunkan, tetapi manusia punya arti dan peran istimewa yang tak pernah bisa digantikan oleh apapun.

Adeline Albine Sitepu FSE