Entri Populer

Rabu, 18 Januari 2012

CURAHAN HATI

CURAHAN HATI

Curahkanlah seluruh isi hatimu kepada Tuhan,
sebab Dia pasti mendengarkanmu.
Dia mengerti dan tidak satu kata pun yang engkau ucapkan diabaikanNya.
Dia tidak pernah salah mengerti atau salah menafsirkan kata-katamu,
Bahkan….
Dia mampu menangkap dan mengerti keinginanmu lewat kedip matamu.
Dia mengerti dan tidak akan mengecewakannmu.
Dia tempat pengaduan yang tepat.
Saat nafasmu terasa sesak karena beban yang terlalu berat,
Dia akan membantumu.
Bahkan saat engkau tidak mampu mengucapkan sepatah katapun,
Dia akan mengatakan kepadamu
apa sebenarnya yang ingin engkau katakan.
Dia akan menyimpan segala apa yang engkau katakan.....
keluhanmu…
bantahanmu…
kegagalanmu,
keberhasilanmu..
kepedihanmu
dan segalanya…
Tak seorang pun yang akan diberitahunya
tentang semua yang engkau katakan,
sebab Dia bukan wadah yang retak….
Dia tempat yang baik bagi semua kata dan ceritamu……..
Percayalah…………………
Katakanlah segalanya kepadaNya

Bapaku…..tempat pengaduanku…hanya Engkau Bapa…..hanya Engkau
Adeline sitepu FSE
Yogya…..18 Januari 2012

Sabtu, 26 Maret 2011

Biarlah Hati Kita Bebas

Aku berdoa untukmu, semoga Tuhan senantiasa menempatkan kebahagiaan dalam hatimu. Agar dalam hari-harimu engkau dapat tersenyum dan menikmati aroma mawar yang menghiasi taman hidupmu. Agar engkau dapat melangkah dengan kaki gagah dan kepala yang tegak menuju matahari. Aku tidak ingin melihat ada setetes air matapun jatuh dari pelupuk matamu, aku tak ingin ada kepedihan sekecil apapun yang menyentuh sudut hatimu apalagi diam di dalam hatimu. Aku ingin seluruh ruang hatimu menjadi satu dan di dalamnya ada kebahagiaan yang ditempatkan oleh Pencipta kita. Dan…biarlah kita menjadi orang bebas, menjadi orang yang berani ditinggalkan dan meninggalkan.
“Apakah menurutmu ini mudah?”
“Tidak, bahkan teramat sulit”.
Kita memang lebih sulit membebaskan diri kita dari perasaan-perasaan dan kerinduan-kerinduan yang telah lama kita alami, miliki dan tempatkan dalam ruang hati kita. Kita lebih mudah masuk ke dalam perangkap yang mengikat seluruh hati kita. Kita lebih mudah memasukkan hati kita ke dalam penjara yang menjawab kerinduan kita tetapi yang menjauhkan kita dari kebebasan yang sebenarnya bisa kita alami dan miliki. Kita memilih untuk dibelenggu. Kita lebih suka mengikatkan hati kita pada hati orang lain, padahal seharusnya hati kita bebas. Kebebasan itu kadang terasa menakutkan. Kita takut ditinggalkan dan tidak berani meninggalkan. Padahal kita memilih menjadi orang bebas tapi takut bebas.
Itu semua karena hati ini, hati yang kecil tapi terbagi dalam sekat-sekat yang menyimpan berbagai hal dan peristiwa dan tak jarang kita mengabaikan apa yang tersimpan di sana. Kita jarang menelusuri ruang dan lorong-lorongnya tetapi memasukkan segala sesuatu yang yang ditangkap mata. Hati itu merekam dan menyimpan seluruh perjalanan kebersamaan kita, menyimpan setiap kata dan gerak kita. Hati itu milik kita hingga tak seorangpun dapat menyentuhnya.
Kemarin tanpa sengaja aku menelusuri lorong dan ruang hatiku. setiap kutemukan ada aku engkau juga ada. Setiap ada kata-kataku selalu dilengkapi dengan kata-katamu, setiap ada candaku diakhiri dengan tawamu, setiap aku memandang aku menemukan kelembutan matamu dan setiap kali ada air mataku, kurasakan lembutnya usapan jemarimu.
“Apakah engaku juga menelusuri lorong dan ruang hatimu?”
“Iya… bahkan teramat sering, tetapi aku menelusuri ruang dan lorong yang dihiasi dengan hari-hari kita. Hari-hari saat aku ada dan engkau ada.”
“Mengapa?”
“Aku senang, aku bisa melihat dan merasakanmu?”
“Mengapa engkau tidak mengatakannya padaku?”
“Aku takut”
“Takut apa?”
“Takut dengan kehadiran hari ini.”
“Mengapa?”
“Hari ini engkau mengajakku untuk menjadi orang bebas. Berani meninggalkan dan ditinggalkan. Aku tidak pernah berharap hari ini ada. Aku tidak pernah membayangkan telingaku mendengar kata-kata ini engkau ucapkan. Aku benci hari ini, aku ingin hari ini segera berlalu. Aku ingin hari ini tiada.”
“Ya…justru keputusanitulah yang membuat kita makin terpenjara. Aku ingin ada sesuatu yang baru menempati hatiku, hatiku sepenuh-penuhnya, maka aku harus mengeluarkan apa yang selama ini memenuhi hatiku. dan sungguh aku tidak menduga…hatiku telah dipenuhi dengan aku dan kamu. Tanpa sengaja aku membuat hatiku menjadi milikku dan milikmu. Tanpa sadar hatiku itu telah penuh dengan aku dan kamu, darinya telah meluap kisah-kisah kita tanpa kita sadari. Bahkan ketika orang lain mengatakannya kita menolaknya dengan marah dan kita ingin orang lain mengerti. Tapi bukankah kita juga harus mengerti dengan orang lain. Orang lain yang juga ingin punya tempat di hati kita.”
Dan satu hal lagi yang membuatku sedih. Engkau tahu…. ketika kesenangan hati kita diadili dengan nilai-nilai dan norma-norma kita memberontak dan membela diri dengan mengatakan “aku ini manusia”. Bukankah karena kita manusia maka kita tahu mana yang baik dan mana yang jahat. Bukankah kita keturunan kakek nenek kita Adam dan Hawa yang juga telah ikut memakan buah dari pohon pengetahuan itu, jadi kita sebenarnya sudah tahu mana yang jahat dan baik. Persoalannya sekalipun kita tahu jahat karena itu menyenangkan, kita melakukannya juga meski hati kita terasa pedih, dan meskipun baik kita menolak melakukannya karena tidak memberi hiburan bagi kita.
Itulah kita selama ini. Kita tidak mau menjadi orang bebas. Kita mengikuti pikiran dan kesenangan bukan mengikuti kata hati kita. Kalau aku tanya padamu apa kata hatimu saat ini?
“Tidak, aku tidak mau mengatakannya”.
“Aku tahu apa kata hatimu.”
“Hatiku mengatakan semua ini harus berakhir.”
“Engkau benar.”
“Tapi….bagaimana kita menjalani hidup ini?”
“Engkau ingat kata-kata sang alkemis kepada Santiagi di tengah padang pasir?”
“Aku sengaja melupakannya.”
“Aku akan mengingatkannya padamu: pergilah kemana hatimu membawa langkahmu,karena di mana hatimu di situlah hartamu. Berjalanlah seturut kata hatimu maka engakau akan menemukan kebahagiaan sebagai orang bebas.”
“Bagaimana kalau aku lelah dan bosan?”
“Kalau itu malam hari pandanglang langit dan hitunglah bintang setiap kali engaku melangkah. Kalau itu senja melangkahlah seturut buaian sang bayu. Kalau itu pagi hari melangkahlah sambil meniri nyayian burung dan tarian kupu-kupu. Kalu itytu siang hari berjalanlan sambil memandang butir-butir pasir yang bercahaya indah diterpa sinar mentarii. Berjalanlah dan melangkahlah.”
“Bagaimana kalau aku mengingat dan sangat merindukanmu?”
“Berlarilah karena di depanmu ada jawabannya”
“Haruskah kita mulai dari saat ini?”
“Iya…katamu benar.”

Ade FSE

Selasa, 22 Maret 2011

ENGKAU MENYURUHKU PERGI, AKU PERGI…. ENGKAU MENYURUHKU DATANG AKU PUN DATANG

ENGKAU MENYURUHKU PERGI, AKU PERGI…. ENGKAU MENYURUHKU DATANG AKU PUN DATANG

Aku diam menyaksikan pemandangan yang melintas di pelupuk mataku, dinding kapel itu berubah menjadi layar lebar yang menampilkan wajah-wajah orang yang sudah kukenal ketika survei di Paroki Pogot Surabaya. Satu persatu muncul menampakkan wujud dan sikapnya mulai dari Romo paroki, Dewan Paroki, ketua wilayah,ketua lingkungan serta umat. Bukan saatnya berhayal. Aku mencoba konsentrasi untuk mendengarkan kata pengantar dalam misa perutusan mahasiswa KBP IPPAK USD 2010. Tetapi tampaknya layar lebar itu menampilkan adegan secara non stop, tidak hanya itu sekarang layar lebarnya bertambah satu lagi di otakku menampilkan berbagai pertanyaan? Bisakah? Bagimana nanti di sana? Nanti kalau...apakah aku bisa? Aku tidak menjawabnya, kubiarkan pertanyaan itu berulang-ulang mendengung.
“Tuhan sertamu,” terdengar suara Romo dari altar. Semua yang hadir di kapel berdiri. Saatnya mendengarkan sabda Tuhan. Dan Ia mengutus mereka untuk memberitakan Kerajaan Allah……”. Aku mendengarkan sabda Yesus ini untuk kesekian kalinya. Tetapi Sabda siang ini terasa menggetarkan. Yesus menujukan sabdaNya kepadaku. Ya…benar hari ini Yesus sendiri yang mengutus aku seperti dahulu Ia mengutus para murid. Usai homili aku berkata dalam hati, “Engkau yang menyuruh aku maka aku akan pergi ke Pogot.” Sambil tersenyum aku mengadu kepada Yesus, “Tetapi….aku membawa sebuah tas yang tentunya berisi he…, kemarin Pak bambang dosenku yang baik hati mengingatkan agar jangan ada yang tinggal bahkan beliau menuliskan daftar barang-barang yang sebaiknya kami bawa ke tempat kami diutus.”
Gudukk…gudukkk…gudukk....aha…para murid berangkat, kereta api San Caka meninggalkan stasiun tugu Yogyakarta menuju Gubeng Surabaya. Selama duduk di gerbong bertarif bisnis itu aku merenungkan sabda Yesus dalam Misa perutusan hari Jumat yang lalu. Aku mencoba masuk dalam situasi Yesus dan para murid. Sebelum berangkat Yesus telah membuat persiapan jangka panjang bagi para muridNya, serta persiapan intensif menjelang hari keberangkatan para murid. Yesus juga mengantisipasi para murid sehubungan dengan apa yang akan mereka alami selama mewartakan Injil, ada yang menerima tetapi ada juga yang menolak. Satu yang pasti adalah mereka harus berangkat dengan tujuan memberitakan injil dan menyembuhkan segala penyakit. Mereka pun berangkat.
Pelaksanaan KBP ini mengingatkan aku seluruh proses perkuliahan. Sejak aku diterima menjalani kuliah di IPPAK, aku diajari, dilatih, ditemani, dibimbing dan dibekali dengan berbagai pengetahuan dan latihan untuk membangun dan mengisi diri sampai pada waktunya diutus ke luar dari kampus jauh dari para dosen yang selama ini menjadi teman, sahabat dan guru bagiku, untuk merasul selama beberapa waktu. Aku diutus ke tengah-tengah umat mewartakan Injil, tinggal dan mengalami hidup bersama umat melakukan apa yang diperlukan umat demi perkembangan iman mereka sesuai dengan talenta yang diberikan Tuhan kepadaku. Aku pernah menangis tetapi lebih sering tertawa dan bergembira. Aku pernah mengeluh tapi banyak waktu untuk bersyukur. Aku mengalami kesulitan atau kegembiraan. Aku selalu ingat kisah perutusan Yesus, aku dibekali dengan sabda Yesus bahwa tidak semua mau menerima, diutus ke tengah-tengah srigala…..maka selama ber KBP aku merenungkan sabda ini berdoa mengawali hari dan berfleksi serta berdoa mengahiri hari.
Pergi bukan berarti tak kembali. Tiba saatnya kembali ke kota Gudeg. Berbahagialah yang dulu berangkat tidak membawa banyak barang karena tidak perlu repot mencari kardus tempat barang-barang untuk dibawa pulang. Aku berpikir, mungkin mengantisipasi hal inilah Yesus berpesan, jangan membawa bekal…karena akan dibekali oleh umat dan memang selama ber KBP aku tidak pernah kekurangan suatu apapun, makanan, minuman, pakaian, dsb.
Sepulang dari KBP aku bertemu dengan para dosen dan teman-teman lainnya. Pertemuan ini layaknya pertemuan Yesus dengan para muridNya yang baru kembali dari tanah misi, aku bersama rekan-rekan menceritakan apa yang terjadi selama merasul, kami menyepi untuk mengevaluasi segala sesuatu yang dialami selama ber KBP untuk menentukan misi di hari mendatang.
Bapa…Engkau yang menyuruhku pergi, aku pergi dan Engkau menyuruhku datang aku pun datang. Aku percaya Bapa yang mengutus aku maka aku dimampukanNya melaksanakan tugas perutusan KBP di Paroki Pogot. Keyakinan ini akan kutanamkan di hatiku kapan pun, dimana pun dalam setiap tugas perutusanku teristimewa sebagai murid Yesus-seorang katekis. Keraguan, kebimbangan, ketakutan dan berbagai pertanyaan yang menggelisahkan saat akan diutus pasti teratasi dan terjawab. Yesus dengan caraNya sendiri senantiasa menyertai dan membantu. Bukankah Dia yang mengutus aku?

Ade sitepu FSE

Kamis, 10 Februari 2011

PEMANFAATAN MEDIA AUDIO VISUAL DALAM PEWARTAAN KABAR GEMBIRA

PEMANFAATAN MEDIA AUDIO VISUAL
DALAM PEWARTAAN KABAR GEMBIRA

A. MEDIA AUDIO VISUAL
Media berarti wadah atau sarana. Dalam bidang komunikasi, istilah media yang sering kita sebut sebenarnya adalah penyebutan singkat dari media komunikasi. Televisi dan radio adalah contoh media yang paling sukses menjadi pendorong perubahan.
Marshall McLuhan berpendapat bahwa “media adalah suatu ekstensi manusia yang memungkinkannya mempengaruhi orang lain yang tidak mengadakan kontak langsung dengan dia”. ...........

B. Media Audio Visual Pendorong Perubahan
Televisi, sebuah sarana penyampaian pesan yang saat ini menjadi primadona masyarakat umum. Di rumah-rumah, televisi telah menjadi Second God. Kini televisi telah menjadi sarana utama bukan hanya informasi tetapi juga hiburan bagi hampir setiap orang di dunia. Dengan kata lain, televisi telah menyebabkan perubahan massal dalam cara mendengarkan, cara belajar, cara kita berpikir dan bahkan cara kita berdoa. .....

C. Mewarta Dengan Bermedia: Kekuatan Audio Visual Dalam Pewartaan

Augustine Loorthusamy yang menjabat President SIGNIS World (International Catholic Association for Communication) Asosiasi Katolik Dunia untuk Komunikasi, berpendapat bahwa banyak orang melihat media sebagai setan sementara yang lain melihatnya sebagai anugerah. Dengan cara pandang yang manapun, kita harus mengakui bahwa media akan tetap ada di sini dan memiliki pengaruh yang besar dalam hidup kita dan kita harus menghadapinya. Pendidikan media adalah salah satu cara.
......................................

d. Siaran program religius lewat televisi. Bentuk ini dilakukan secara periodik, yaitu sebulan sekali selama 30 menit
e. Pendalaman iman melalui kotbah audio visual di gereja, berlangsung ±15 menit.
Sejalan dengan pendapat di atas tentunya media juga bermanfaat dalam katekese. Dengan melihat betapa semakin beragam, canggih dan modern media audio visual maka kita yang berkiprah di dunia Pewartaan Kabar Gembira tentunya tertarik dan tertantang untuk memanfaatkannya dalam karya pelayanan kita teristimewa dalam berkatekese. Pemanfaatan media secara tepat dapat menciptakan proses dan hasil katekese yang maksimal. Pengetahuan, keterampilan penggunaan media dan kebijakan dalam memanfaatan media tersebut akan membawa kita kepada proses Katekese yang menarik dan menyentuh hati umat.
“The power of imagination” itu memang nyata. ...................................dst
Ade Sitepu FSE
Yogyakarta

Rabu, 09 Februari 2011

ERNES

ERNES
Aku baru kembali dari Novisiat, aku langsung menuju UGD karena engkau akan segera datang. Aku ingin segera melihatmu. Kira-kira 30 menanti engkau tiba. Engkau tersenyum, tapi aku merasa lain. Apakah mungkin seperti ini keadaanmu tanyaku dalam hati. Bukan karena aku tidak senang melihatmu tersenyum dan menyapaku. Tanpa menunggu lama, orang-orang membawamu ke ruangan dan memeriksa tubuhmu. Kuperhatikan lengan kirimu yang terbungkus kain putih, “mengapa lengan kamu sudah kecil tanyaku”. Dengan lemah engkau menjelaskan bahwa dokter menggunting daging lenganmu karena jaringannya mati. Engkau juga mengatakan lenganmu perih dan sakit. Aku terdiam menatapmu.
Aku mau minum, suaramu lembut dan lemah memecah kesunyian di ruang kecil itu. di ruangan itu banyak orang tapi tidak tahu harus berkata apa lagi padamu adikku.
Pikiran dan hayalku terbang jauh ke tempat kita pernah bersama. Di pelupuk mataku terbayang senyum dan suaramu yang kadang sangat kuat menyanyikan lagu. Gerakan-gerakanmu yang lincah dan.......semua yang pernah kita alami. Kesepakatan kita, omong kosong kita. Keinginan kita ke Paris. Kita pernah bercerita tentang kematian dan kehidupan, ramalan usia kita.
Ah...... aku tidak meminta mujizat kesembuhan untukmu adikku, bukan karena aku tidak menginginkan engkau pulih, bukan karena aku tidak menyayangimu. Adikku kalaupun aku merengek kepada Tuhan, bukankah aku terlalu egois dan engkau sudah terlalu lelah dan sakit menanggung deritamu. Kalaupun aku memohon agar engkau tetap ada di sampingku bukankah itu hanya keinginan manusiawiku yang tidak mau melepaskan engkau ke tempat yang indah.
Aku masih ingat tentang kubur kecil diantara kubur besar yang aku ceritakan padamu dan kepada saudari-saudari kita. Aku merasa saat itu mungkin akulah yang akan berlalu darimu dan seandainya itu terjadi aku tidak akan menolaknya bahkan sejak saat itu aku menulis syair tentang kehidupan damai di dunia sana.
Pagi itu aku datang ke kamar tempat engkau dirawat. Aku melihat cairan keruh keluar dari lubang dekat dada kananmu, suara kertak gigimu menahan rasa sakit, matamu putih. Aku melihat dan merasakan ada perjuangan berat melepaskan sesuatu dari tubuhmu, seperti melepaskan dua buah kaca yang sisinya melekat pada sisi kaca yang lain. Aku berpikir bahwa engkau bukan milik kami lagi. Tempat pembaringanmu didorong menuju ICU. Di tempat itulah kita berpisah dan engkau menemui Bapa kita.
Ernes selamat jalan kawan. Semua orang sedih melepasmu. Masihkah engkau dengar suara tangisan dan cerita orang-orang tentangmu? Nes mereka menyayangimu, mengagumimu.
Salam dan doaku buat Ernes,
ADE FSE

Balon Biru Buat Ayah

Balon Biru Buat Ayah

Senja itu sepi, hanya suara mesin kendaraan menemani keberangkatan sang mentari ke peraduannya. Sang bayu berhembus lembut menyapa makhluk penghuni alam.
“Ah, apa yang harus aku lakukan? Adakah harapanku akan terpenuhi? Bagaimana dengan ibu saat ini?” Di, bertanya sendiri. Tidak ada yang menjawab, tak seorang pun mendengar apalagi mengerti.
Di, melangkah mendekati jendela, matanya menerawang jauh, seakan ia memburu sesuatu dengan sorot matanya yang sayu. “Seandainya aku sudah bertemu...”, keluh Di, sambil menghembuskan nafas yang berat. Ayah, benarkah engkau hanya bayang-bayang dan hayalanku saja? Tapi mungkinkah aku ada di dunia ini tanpa seorang ayah?”
Di, menyambar pena berwarna hijau, mengambil beberapa lembar kertas biru. Ia duduk di bangku kecil berwarna biru. Ia menatap langit-langit kamarnya. Sepasang anak sungai bersumber dari matanya yang indah dan bening. melintasi pipinya yang sembab. Berlahan ia menggoreskan penanya

Buat Ayah yang kucintai dan kurindukan :
Ayah, aku tidak tahu bagaimana cara yang tepat agar bisa bertemu denganmu. Aku sangat merindukanmu. Aku ingin melihat dan mengenalmu ayah. Ayah, namaku Diana, aku sudah dewasa. Aku kuliah di Perguruan Tinggi Katolik. Apakah ayah tidak ingat, kalau ayah pernah mempunyai seorang istri berdarah Timor, meskipun bukan istri yang sah? Dan dari perkawinan yang tidak sah itulah aku terlahir. Ibu pernah bilang, ayah memaksa ibu menjadi istri ayah, ketika ayah datang ke negaraku sebagai utusan penjaga keamanan. Sebelum aku lahir ayah pulang ke negara ayah sedangkan ibu yang sedang hamil tua tinggal meratapi nasib karena tidak punya kekuatan untuk menahan ayah. Akulah anak ayah yang sedang berdiam di rahim ibu saat itu.
Ayah tidak pernah memberi khabar dan ibu tidak pernah tahu dimana ayah berada hingga saat ini. Ibu hanyalah seorang perempuan kampung yang pasrah kepada nasib. Kata orang-orang, ibu adalah korban dari kekejaman, nafsu dan ketamakan orang yang tidak punya moral dan belaskasih. Bukan hanya ibu, masih banyak perempuan lain yang bernasib sama seperti ibu di negaraku.
Ibu selalu mengajar aku agar jangan pernah membenci ayah, ibu meyakinkan aku kalau suatu saat aku pasti bertemu ayah. Karena harapan itulah aku rela meninggalkan ibu sendirian di Timor Leste dan berangkat ke negara ayah. Aku rela tinggal di ruang sempit ini, membayar uang kost, makan nasi sekepal, itu pun hanya dua kali sehari. Aku dengan bersusah payah berurusan dengan pihak imigrasi dengan mengeluarkan uang dua ratus lima puluh ribu rupiah setiap bulan agar aku bisa tinggal di negara ayah ini. Untuk mendapatkan uang itu ibu bekerja keras siang malam tanpa henti. Semua itu dilakukan ibu agar aku bisa melihat wajah ayah.
Seandainya saat ini ayah sudah beristri, punya anak dan bahagia, aku tidak akan mengganggu kebahagiaan ayah. Aku hanya ingin bertemu ayah. Aku ingin merasakan bisa duduk di samping ayah. Aku ingin memanggil mu “ayah”. Ayah tahu, banyak teman-temanku yang menuduh ayah kurang ajar, tidak bermoral, tidak bertanggung jawab dan banyak tuduhan lainnya. Memang kalau dipikirkan secara rasional mungkin tuduhan itu ada benarnya. Tapi bagiku, ayah adalah seorang yang berarti, karena ayahlah aku ada di dunia ini dan aku merindukanmu ayah.
Ayah, liburan tahun ini teman-temanku semua pulang ke rumah orang tuanya dan berkumpul bersama. Aku hanya sebagai perantau di sini. Aku tidak mengharapkan apa-apa kecuali bertemu denganmu. Andai kita bertemu itu adalah kado terindah dalam hidupku dan tidak akan pernah kulupakan. Ayah, apakah itu mungkin?
Apakah ayah pernah ingat kepada ibu, membayangkan wajah bayi yang ayah tinggalkan di perut ibu, menghitung-hitung usianya, menerka-nerka namanya dan rindu ingin bertemu dengannya? Atau ayah sama sekali tidak mengingat semua itu? Ayah tahu, aku sering membayangkan ayah dan melukis wajah ayah di buku harianku meskipun aku belum pernah bertemu dengan ayah. Ibu bilang sorot mata, warna kulit, wajah dan rambut kita mirip. Menurut perkiraan ibu usia ayah saat ini kira-kira 46 tahun. Badan ayah tegap, sorot mata ayah lembut dan kulit ayah sawo matang.
Sebenarnya aku pernah membenci ayah dan ingin membalas dendam kepada ayah, tapi ibu bilang, tidak boleh. Dan setelah aku kuliah di sini, aku semakin mengasihi ayah dan sangat merindukan ayah. Di kampusku aku banyak belajar dari dosenku yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi juga tentang pengampunan dan kasih. Aku belajar menjadi pribadi yang dewasa dan mampu mencintai semua orang. Dosenku adalah kaum berjubah yang biasa aku panggil Romo dan Frater. Mereka sangat baik. Dari kebaikan mereka itulah aku semakin yakin, kalau ayah juga sangat baik. Mereka sangat mengasihi aku dan aku yakin seandainya ayah melihat aku, ayah juga pasti akan mengasihi aku.
Ayah, aku sangat merindukanmu aku ingin bertemu.Aku tidak tahu kapan dan bagaimana caraku agar bisa bertemu denganmu ayah. Ayah aku selalu berdoa semoga Tuhan berkenan mempertemukan kita. Dan aku ingin malam ini ayah hadir dalam mimpiku. Ayah aku ingin melihatmu, memegang tanganmu dan merasakan hangatnya pelukan seorang ayah.
Yogyakarta Desember 2007
Dariku ananda,
Diana
Di, melipat lembaran suratnya. Ia melangkah menuju pintu. Matanya berkaca-kaca. Ayah, bagaimana caraku menyampaikan surat rindu ini padamu? Aku tidak punya alamat ayah, hanya tahu nama ayah adalah Herman. Ah, ayah betapa aku merindukanmu.
Langit makin senja, Di, mengarahkan pandangannya ke sisi kanan jalan, ia mempercepat langkahnya menemui seorang pria berbadan kurus.
“Pak, aku beli balon berwarna biru tiga buah”.
“Oh, iya mbak”, Penjual balon terbang itu mengambil balon dan mulai mengisinya dengan gas agar bisa terbang.
“Pak, tolong masukkan ini ke dalam balon yang terakhir”, kata Di sambil menyodorkan surat yang ditulisnya tadi.
Di, membawa ketiga balon itu ke sebuah bukit kecil yang tidak jauh dari tempat kosnya.
“Ayah, andai aku tahu saat ini ayah berada aku pasti datang kepada ayah dan mengungkapkan rasa cinta dan rinduku kepada ayah dan aku pasti akan bahagia, aku akan bercerita tentang ibu, Timor Leste dan tentang kuliahku. Ayah, sekarang aku mengirimkan suratku lewat balon biru ini, biarlah balon ini yang membawanya kepada ayah, aku berharap surat ini sampai kepada ayah meskipun dalam waktu yang lama. Ayah aku mencintai dan merindukanmu”, ungkap Di dengan terpatah-patah. Dengan tangan gemetar ia melepaskan balon biru itu, kedua matanya mengikuti gerak balon itu sampai hilang dari tatapan matanya. Ayah aku menanti balasanmu.

Cinta Tidak Pernah Sendiri dan Takkan Mati

Cinta Tidak Pernah Sendiri dan Takkan Mati

Aku tidak tahu harus memikirkan apa malam ini. Tiba-tiba hatiku menuntunku berkisah tentang cinta yang abadi. Aku diingatkan akan kisah-kisah yang baru berlalu. CINTA. Aku membayangkan hari-hari hidup yang dihiasi cinta. Hari yang indah. Maka akupun ingin setiap tarikan dan hembusan nafasku diirigi cinta, bahkan saat tubuhku nanti biru aku ingin diiringi dengan cinta. Sekalipun tubuh itu tidak lagi merasakan sentuhan angin.

Pernahkah engkau sangat rindu? Rindu bukan untuk bertemu, melihat atau memandang, bukan rindu duduk bersama menghabiskan secangkir susu coklat dan makan daging anjing. Kerinduan itu diam dalam hatimu yang terdalam dan engkau tak kuasa mengusirnya. Kerinduan itu membuatmu sedih dan pedih. Bila engkau beranjak dari tempatmu berhening dan engkau bisa saja menemukannya, tetapi bukan saat yang tepat bagimu untuk melakukannya, lagi pula engkau tidak berniat melakukannya. Engkau tidak ingin bertemu.
Menit-menit berlalu, engkau menanti yang engkau rindukan tapi tak jua ada. Kerinduan yang sederhana namun tak terabaikan. Engkau hanya rindu mendengar suara singgah di telingamu dan menyapa hatimu. Suara yang darinya engkau pernah merasakan cinta dan bagimu suara itu adalah tanda-bukti cinta. Kali ini, saat kerinduan memenuhi hatimu, cinta itu tidak datang, dia berkelana entah kemana. Kalau engkau pernah merasakannya maka engkau pasti mengerti akan arti “CINTA YANG TAK PERNAH SENDIRI DAN TAKKAN MATI”.
Aku telah mengalami ini dan aku ditemui oleh Sang Cinta. Ia menyapa hatiku yang rindu dan aku berkata “cinta selamat datang”. Kini aku tahu cinta itu sejati. Ini semua kumengerti dalam pertemuan dengan Dia di keheningan hatiku, di sebuah ruang kecil 7C, RPF-Nagahuta tempatku berhening dan dalam bimbingan P. Michael Manurung OFMCap yang dipilih oleh Tuhan menjadi pembimbing retret pribadiku. Bersama beliau aku bertualang menemukan cinta.....
Retret hari ketiga, seperti biasa aku merenungkan 4 teks KS. Dua teks terdahulu, dalam kontemplasi aku mendapatkan diriku berjalan hanya sendirian. Hatiku sedih dan berulangkali bertanya, “Bapa mengapa aku hanya sendirian saja di jalan kecil ini?” “Berjalanlah”, jawabNya. Aku berjalan. Aku bertanya lagi, “Bapa aku ingin punya teman seperjalanan, mengapa aku sendirian?” Aku tidak lagi mendengar suaraNya. Kuangkat kepalaku, jauh di depanku ada sebuah puncak dan kulihat Dia di sana. Dari tatapanNya hatiku menangkap sebuah pesan. Dia menyuruhku datang kepadaNya. Akupun datang meski merasa sendirian karena Dia yang menyuruhku. Ada harapan dalam hati kecilku. Tapi kerinduan akan kehadiran teman-teman seperjalanan masih memenuhi hatiku.
Pukul 15.30 WIB, jadwal kontemplasiku yang ketiga. Pertobatan Saulus. Bapa beri aku hati yang hening, tenang dan bening. Beri aku kesempatan berjalan bersama Saulus, bertemu Yudas, Ananias dan bertemu dengan Engkau serta mendengar pesanMu. Aku duduk tenang, mendengarkan suara-suara. “Bapa dimana suara itu, tanyaku dalam hati. Aku tidak mengerti, mengapa aku tiba-tiba sangat rindu mendengar suara burung yang sering melintas dekat kamarku.
Kutelusuri perasaanku, mengapa aku rindu. Suara itu tanda kehadiran seorang yang mencintaiku dan kucintai. Dia telah berlalu dari dunia ini sejak aku berusia lima tahun. Bapak memperkenalkan suara itu, untuk menghibur kepedihan dan kehilanganku dengan meyakinkan aku bahwa dia yang telah meninggalkan kami tetap mencintaiku tetap ada menjagaku. Ia menyapaku lewat kicau burung. Bapak sering menterjemahkan kicauan burung dengan kalimat-kalimat indah yang menghibur dan menyenangkan hatiku. Hingga akhirnya aku sendiri fasih menterjemahkan suara-suara burung itu “Sore ini suara itu meninggalkan hatiku, cinta itu pergi dari hatiku,” keluhku dalam hati.
Dua hari pertama retretku, suara itu kudengar riuh. Aku tidak peduli, aku tidak merasa atau berpikir sesuatupun tentang suara itu. Tapi sore ini, aku sangat merindukannya. Aku diam menanti suara itu, mungkin sebentar lagi terdengar. Tapi tak jua kunjung datang. “Cinta kemana engkau pergi, mengapa engkau meninggalkan hatiku?”, tanyaku sedih menahan rindu. Kubaca teks Kitab Suci yang terletak di bantal bulat. Kerinduan itu semakin kuat memenuhi hatiku. Bapa, satu suara tanda cinta telah meninggalkan hatiku saat aku sangat merindukannya.
Kupakukan tatapanku pada nyala lilin kecil di sudut doaku dan mencoba berkonsentrasi merenungkan teks yang telah kubaca berulangkali. Aku mencoba mengabaikan kerinduanku tapi tidak bisa. Bahkan kini aku merindukan suara dari seorang yang juga dua hari lalu kudengar dari kamarku saat aku memulai meditasiku. Suara itu bukan memanggilku. Suara yang sebenarnya tidak asing bagiku. Hampir 40 hari ini aku tinggal bersama dia, berbicara, bercanda, olahraga, makan dan rekreasi. Bahkan baru tadi pagi aku bertemu dan berbicara dengan dia di ruang 13 A, berbagi pengalaman doaku. Karena beliaulah yang dipilih Tuhan membimbingku dalam retret menutup khursus Persiapan Kaul Kekal kali ini. Tapi entah mengapa sore ini aku rindu mendengar suaranya melintas lewat jendela kamarku. Aku tidak berharap dia memanggilku, aku tidak rindu bertemu atau bertegur sapa. Aku hanya ingin mendengar suaranya. Menit-menit berlalu suara itu tak kunjung terdengar olehku. Tiba-tiba seekor nyamuk menari-nari di depanku. Ngiiing... aku mendengarkannya. Suaranya tidak mampu menggantikan suara yang kurindukan sore ini. Paaaak aku bertepuk keras, nyamuk kecil mati. Korban mutilasi pikirku.
Ade ada apa denganmu? Kutanya diriku. Mengapa suara itu tidak menyapa hatiku? Ade, dua suara engkau rindukan sore ini dan dua suara itu telah meninggalkan hatimu. Tuhan mengapa semua ini terjadi? Dalam dunia nyatapun aku merasa telah ditinggalkan, dalam permenungan dan kontemplasipun aku berjalan sendirian dan ketika aku bertanya tak sepatah katapun kudengar dariMu. Aku sendirian dalam kerinduan yang tidak kumengerti.
Kucoba sekali lagi membaca teks Kitab Suci. Berlahan kutarik nafas panjang dan dalam. E...hemmmm hahh kuhembuskan cepat-cepat. Kuyakinkan hatiku bahwa suara itu tidak meninggalkanku. Suara itu sedang berkelana. Dia akan pulang menemui dan menyapa hatiku yang rindu pada saat dan waktu yang tepat. Kuulangi kata bijak yang tercatat di hatiku “Manusia hidup, menderita dan mati dan yang paling lama bertahan adalah cinta.” Aku yakin itu, bahkan cinta tidak hanya bertahan lama tapi selama-lamanya. Akhirnya aku masuk dalam kontemplasi dan sampai pada situasi indah. Ananias menatapku dan berkata “Tuhan mencintaimu”. Aku menjawab, “Aku percaya Tuhan mencintaiku”.
Di penghujung kontemplasiku aku bersyukur dan ada sesuatu yang lebih menakjubkan lagi. Suara burung yang kurindukan riuh di samping kamarku, lebih indah dari hari-hari sebelumnya. Di penghujung permenungan itu juga, dia sipemilik suara yang kurindukan hadir dihadapanku dengan tersenyum. Cinta selamat datang. Aku bahagia. Cinta telah pulang menyapa dan memenuhi kerinduanku. Inilah cinta sejati. Cinta yang tidak hilang. Berlahan kubuka mataku. Aku percaya Dia yang menanamkan kerinduan agar aku mengerti akan arti “cinta”. Saat aku rindu dan sangat rindu, dia hadir pada saat dan waktu yang tepat. Ya itulah cinta sejati-cinta yang tidak pernah sendiri dan takkan mati. Aku yakin, bahwa aku tidak pernah sendiri menapaki jalan hidup ini. Ada Dia yang mencintaiku, hadir dalam setiap peristiwa hidupku, dalam lembutnya alunan nada, rinai hujan, melalui setiap orang. Cinta ada dan hadir dalam segala sesuatu.
Permenungan, refleksi dan keyakinanku ini diteguhkan oleh P. Michael yang setia membimbingku. Dengan lembut beliau berkata, “Hidup tidak pernah terlepas dari cinta. Tidak ada seorangpun yang mampu menjalin relasi yang indah dengan Tuhan dan sesama, jika ia tidak punya cinta. Seorang selibater tidak mungkin mampu mempersembahkan dirinya secara utuh kepada Tuhan jika ia tidak punya cinta”. Aku meyakini dan mengamini pendapat beliau. Bagaimana aku mencintai Tuhan bila aku tidak mampu mencintai sesamaku? Bagaimana aku mengatakan aku cinta kepada Tuhan, kalau aku tidak pernah merasakan rindu yang mendalam kepadaNya? Bagaimana aku tahu dan yakin Tuhan yang kurindukan mencintai aku bila kehadiranNya tidak membahagiakan hatiku dan tidak mengobati rasa rinduku? Bila aku tidak pernah mampu merasakan kehadiranNya pada saat dan waktu yang tepat?
“Jam berapa aku melintas dekat kamarmu sore ini De?,” tanya P. Michael mengakhiri sharing rohani kami. Aku tersenyum dan berkata, “tidak usah Pastor”. Hatiku semakin yakin Tuhanlah yang memilih beliau membimbingku dan Tuhan jugalah telah memuhi hatinya dengan cinta yang berbunga dan cinta itu dapat kurasakan sekalipun beliau tidak melintas dekat kamarku sore ini. Aku tetap yakin ada cinta untukku. Dia menemani hari-hari permenunganku dengan caranya sendiri sebagai bukti “cinta tidak pernah sendiri”. Hatiku dapat merasakannya. Cinta mengajariku berelasi, menumbuhkan dan memupuk kebahagiaan dalam hatiku, dalam setiap gerak langkahku dan dalam setiap lorong hidupku. Cinta telah mengajari aku mencintai Tuhan dengan cinta tak terbagi.
Pada hari terakhir retret, keyakinanku akan kekuatan cinta sudah teruji dan aku pun akan menebar cinta. Dalam bimbingan terakhir aku mesharingkan keindahan perjalanan retretku dari hari pertama sampai hari terakhir. Aku mengalami suatu gerak yang indah. Satu pertanyaan dari P. Michael, “Ade, dari semua permenungan, dalam manakah Ade menemukan dan mengalami rahmat Tuhan yang sangat besar?” “Ketika aku sangat rindu mendengar dua suara dan suara itu hadir pada saat dan waktu yang tepat. Aku menyebutnya pengalaman cinta. Cinta yang tetap bertahan, karena itu saat ini aku siap untuk segala sesuatu kemungkinan yang bakal terjadi atas diriku,” jawabku sambil tersenyum. Beliau tersenyum dan mengangguk. Menguatkan keyakinan akan sejatinya cinta, aku membacakan puisi “Kutemukan cinta”, setelah itu aku dan P. Michael menyanyikan lagu “Here I am Lord” dengan suara serak-serak becek.
Mengakhiri pertemuan yang terakhir kami, P. Michael menyodorkan sebuah kartu ucapan selamat dengan dua kalimat tertulis indah dan sangat menyentuh hatiku. “Karena Engkau Tuhan menyuruhku, maka aku datang”. “Cinta tidak pernah sendiri dan tidakkan mati”. Aku sangat bahagia dan sekarang cinta itu terbukti. Kalimat pertama adalah kata yang kuucapkan saat aku merasa sendirian, lelah dan Tuhan menatapku lembut. Kalimat kedua adalah keyakinanku setelah hatiku dikunjungi oleh dua suara itu. Dan saat itulah aku merasakan rahmat Allah. Dan semua ini dibaca oleh pembimbingku. Aku yakin ini semua karena cinta yang telah ditumbuhkan oleh Tuhan. Cinta itu mengerti. Kerinduan adalah bukti cinta. Tuhan senantiasa mencintaiku bahkan ketika hatiku sunyi merasa ditinggalkan dan tidak mampu merasakan kehadiran cintaNya.
Paulo Coelho dalam bukunya “By The River Piedra I Sat Down And Wept” mengatakan:
“Cinta telah ada sebelumnya dan akan berlangsung selama-lamanya. Cinta tidak berubah. Semakin kita mencintai, semakin kita dekat dengan pengalaman spiritual. Mereka yang benar-benar dicerahkan dan jiwanya diterangi oleh cinta sanggup mengatasi setiap rintangan dan prasangka zamannya. Mereka dapat bernyanyi, tertawa dan berdoa dengan lantang; mereka mengalami apa yang oleh St. Paulus disebut “kegilaan yang kudus”. Mereka bahagia karena orang-orang yang mencintai akan menaklukkan dunia dan tidak takut kehilangan. Cinta sejati adalah penyerahan diri seutuhnya”.
Aku yakin cinta Tuhan tidak akan berlalu. Masih banyak kisah cintaku, hari inipun kisah cinta itu ada antara aku dan Dia, aku dengan kamu. Sekalipun aku harus menangis di tepi sungai Piedra karenanya. Sungai yang membekukan setiap tetas air mataku menjadi dasar sungai. Aku tetap yakin cinta abadi. Keyakinan akan kesetiaan CINTA memberi aku keberanian untuk mengikrarkan kaul kekal pada tgl 29 September 2009.
ADE FSE

Jumat, 06 Agustus 2010

AKU PERGI

hari belum senja
tapi langkahku hampir berakhir
jangan menangis
aku bahagia

dekat di sampingku
aku ingin bercerita
tentang langit biru dan camar
tentang semua

sebentar lagi lidahku kan kelu
tubuhku biru
aku berlalu
jangan memanggilku

aku ingin bersamamu
arungi hidup
tapi...
aku akan lalu

mama....
tolong sisir rambutku
kenakan gaun putih itu
duduk disampingku
nyayikan lagu di telingaku

temani aku mama
melepas desah nafasku
jangan tinggalkan aku mama
tersenyum mama

lihat Dia datang
menyambut tanganku
aku bersamanya mama

disana aku kan bahagia
tidak ada keluh
tidak ada desah nafas yang sesak
mama biarkan aku

ade FSE

GARA-GARA I MISS YOU

Ada surat, for my love sister, kata pikoku sambil melirik amplop berwarna pink yang terletak dekat white board. Sebenarnya ketika menuju kapel, aku sudah melirik amplop dan aku tahu itu untukku. Tapi sebagaimana aturan yang ditetapkan ketika aku menginjakkan kaki di rumah pembinaan ini, bahwa segala sesuatu harus sepengetahuan dan seijin piko tak terkecuali surat bersampul pink. Maka akupun mengajak hatiku untuk bersabar sampai doa rosario dan doa salib selesai
Pikoku mengambil amplop itu. “Huuu….ada surat untukmu….berwarna pink..”, lanjut pikoku sambil melirikku setelah beliau mengucapkan terpujilah Yesus Kristus sebagai pertanda bahwa kami sudah bisa minum sore dan makan biskuit. Pandanganku mengikuti gerakan tangan pikoku. Kok bisa dapat surat seperti ini tanyanya. “Suster itu dari kakak saya”, jawabku. Tapi tampaknya pikoku meragukan penjelasanku. Kuperhatikan jari-jarinya mulai menyobek bagian pinggir amplop surat kakakku. Empat lembar perangko tercecer jatuh mengenai sandalnya. “Ooooo ada perangko balasan lagi”, katanya dengan nada suara yang menyiratkan kecurigaan. Aku hanya diam, menungggu saat pikoku memberi kesempatan padaku menjawab pertanyaannya yang sambung-menyambung sejak melihat amplop berwarna pink itu. Berlahan beliau membacakan kartu yang juga berwarna pink di depan teman-temanku bak menyampaikan pengumuman…
“Dear my love sister Happy valentine day….
I miss you so much…….
Koq kamu dapat kartu valentine pakai I miss you 2x so much dari laki-laki, siapa ini? tanyanya lagi. Suster, dia kakakku satu-satunya. Dia memang laki-laki. Kami memang dekat. Saya sudah biasa mendapat kartu valentine dari kakak”, jawabku. Dalam bimbingan aku jelaskan bahwa aku dari kecil selalu bersama kakakku aku tidak punya saudara yang lain hanya dia satu-satunya. Dia mengasihi aku dan menyayangi aku. Sampai sekarangpun kalau kakak mengirim pesan lewat email atau facebook sekalipun sekarang sangat jarang, kakak selalu menuliskan pada bagian akhir “ my love sister I love you I miss you so much see you… Kadang kita salah memaknai kasih dan sayang. Kasih, cinta dan sayang adalah milik kita bersama. Kita bisa mengatakan I miss you so much….. kepada orang-orang yang kita kasihi dan mengasihi kita. Hahaha…. my old brother I miss you to….
Adik Ade Sitepu
Yogyakarta

NYANYIAN HATI SEBUTIR NASI

Ia sebutir nasi, menanti lenyap. Ia pernah mengeluh, menangis.
Ia pernah tersenyum dan tertawa. Ia punya kisah, punya kenangan.
Ia punya semua itu dan sekarang ia tinggal sendirian bersama segerombolan semut merah.
Ia berkisah tentang hidupnya kepada semua yang mendengarnya:

aku sebutir nasi, terlupakan di tepi laut. Gulungan ombak menjemputku membawaku kedunianya yang sangat asing. Aku menari dalam pelukannya. Tubuhku terasa dingin, kaku dan lelah. Gelombang itu mempermainkan aku di dunianya. Aku terhempas terbentur pada sebuah karang. Aku lelah. Aku bersandar pada karang itu, melepas lelah.
Dia mengajariku menari dan bernyanyi dalam kepedihanku yang sangat pedih. Ia membiarkan aku menyandarkan seluruh perasaanku padanya.
Aku belajar tersenyum di tengah laut yahg dingin, aku belajar menerima hidup. Aku tak mungkin pulang ke duniaku. Aku jauh di tengah laut. Aku belajar hidup, belajar bertahan.
Saat aku mulai mampu berdiri dan bernyayi gulungan ombak menyapaku ganas ia mengurun aku dalam pelukannya yang asing. Karang itu tidak mampu menahanku.

Aku berputar, karam dan...aku tidak tahu lagi. Aku lelah, capek, perih, pedih, sakit. Seluruh hatiku remuk. Aku tidak bisa lagi menangis aku hanya diam menanti kenyataan yang akan menyambutku. Menanti apa yang di depanku. Aku lelah. Aku tidak punya tempoat bersandar. Aku sendirian dalam lelah, aku habis. Tidak satupun yang mengerti.
Gelombang itu mempermainkan aku. Aku terombang ambing. Aku meringis.
Dengan kejam ia hempaskan aku ke tepi pantai. Ke duniaku. Aku remuk. Aku tidak mampu menikmati hangatnya sapaan sang bayu, aku tidak sanggup lagi menikmati hangatnya sang surya. Aku lelah. Aku menanti, munkin akan ada yang mnenyapaku, menyentuhkan jemarinya di tubuhku yang remuk.

Aku bergerak berlahan, aku melihat serombongan semut merah menyapaku. Aku sadar aku tidak punya tempat lagi di dunia ini aku akan habis.
Dalam lelah aku berkata, "semut, sahabatku lakukan apa yang ingin engkau lakukan,biarlah aku habis. Biarlah sisa hidupku dapat membahagiakanmu. Aku senang".
Sebutir nasi ia tersenyum menyaksikan tubuhnya habis. Ia bersyukur pernah ada di bumi ini meski ia harus menanggung banyak kesakitan dan kepedihan. Ia bahagia.
Ia hanya sebutir nasi yang terabaikan, namun tidak menyerah. Ia bernyanyi untukmu kawan, untukmu sahabat. Ya untuk mu semua. Kini ia sendirian dalam lukanya, ia tidak mengeluh. Ia menangis ia bahagia pernah mengenalmu. Ia bahagia pernah diombang-ambingkan ombak. Ia bahagia pernah bersandar pada sebuah karang. Ya ia bahagia. Kini ia akan habis dalam perjalanan waktu.

ADE FSE

BAPA ADE MAU TANYA

Bapa andai aku sudah di sana.....
apakah aku masih bisa melihat mereka?
dan....apakah mereka juga dapat melihat aku?

Bapa aku tidak meragukan kuasaMu yang tidak terbatas itu
Bukannya aku mau mendahului keputusan-Mu ataupun merubahnya
Aku yakin akan keindahan tempat yang Engkau janjikan
Aku percaya akan kebahagiaan ada di sana

Tapi....
sebelum aku ke sana
ada yang ingin aku tahu Bapa
tentang orang-orang yang kukasihi dan kucintai

Bapa Engkau tahu....
Aku tidak ingin mereka bersedih dan menangis
Aku mengasihi mereka

Bapa......
andai suatu saat mereka rindu padaku
apakah mereka dapat melihatku????

Dan.....
jika aku rindu apakah aku dapat melihat mereka
dan....
andai aku dapat melihat mereka

Tapi ... aku melihat mereka menangisi batu nisanku
jika aku mendengar suara pilu hati mereka
apakah aku dapat menghibur mereka?

Bapa......
maukah Engkau menghibur mereka yang kukasihi dan kucintai
Bapa ......
untuk saat ini aku ingin sendiri
aku tidak ingin lagi membuat kenangan
yang membuat mereka makin pilu

Bapa salah aku menanyakan ini????

ADE FSE

SAAT

Andai hariku lalu
Nafasku terpisah dari badanku
Dan rohku kembali kepadaMu

Masih dapatkah aku memandang
Orang-orang yang kukasihi
Masihkah aku dapat mengucapkan
Kata penuh kasih dan cinta
Untuk mereka yang kucintai?

Andai nanti tiada tempat kediaman bagiku
Di permukaan bumi ini
Masihkah aku dapat memegang
Tangan orang yang kukasihi?
Masihkah aku dapat menyapa mereka?

Kalau aku ada di depan mereka
Masihkah mereka melihat aku
Dan menyapa aku seperti waktu kami bersama-sama
Masihkah mereka merasakan kehadiranku?

Kalau aku rindu...
Mungkinkah aku makan semeja dengan mereka?
Menghabiskan segelas air berwana bening?

Andai semuanya itu mungkin
Aku tidak akan kehilangan suatupun
juga mereka
Aku dapat bersama mereka

Tapi kalau memang itu mungkin
Apa bedanya aku hidup atau mati
Apa perbedaaan antara hidup dengan mati

Adakah rohku bebas
Dari penjara tubuhku
Kalau bebas tubuh tanpa roh
Siapakah aku
Masihkah aku

Siapa yang bernama Ade
Tubuhku yang mati atau...rohku yang bebas
Adakah yang pernah yang disebut “manusia”
Pada tubuh tak bernyawa
Bukankah selama ini disebut “mayat”

Aku berpikir
Jika memang semua itu tidak mungkin
Aku mengatakan
Itulah yang membedakan kehidupan dan kematian

Tubuh dan roh
Itulah manusia-hidup-kehidupan
Tubuh tanpa roh
Itulah mayat-mati

Kehidupan berseberangan
Dipisahkan dinding kaca tipis dan bening
Mereka sama-sama memandang
Tapi tidak bersentuhan
Mereka sama-sama menatap
Tapi tidak pernah saling melihat

Mereka bertanya
“mengapa engkau tidak melihat aku?
Mengapa engkau tidak mendenganr suaraku?

Bapaku ya bapaku
Engkau yang memiliki aku

Jika waktu dan saat itu menyentuhku
Aku akan turut

Aku minta....
Lindungi mereka yang kukasihi dan kucintai
Jaga hatinya agar tidak pedih menatap tubuh yang biru
Jaga matanya agar tidak menitikkan tetes air mata menangisi bibir yang beku
Jaga lidahnya agar tidak memanggil namaku dekat nisan bisu
Tuntun langkahnya agar tidak mencari aku dalam hampa

Dan aku.............
Biar ada di tempat yang Engkau kehendaki
Jangan biarkan aku merindukan mereka
Tubuhku biarlah biru, beku, kaku dan
habis dalam himpitan tanah merah

Dan andai suatu saat bertemu
Biarlah kami bertemu di hadiratMu
Biarlah kami diam di ribaanMu

Bapa aku tidak menolak kehidupan dan mengundang kematian
Karena penderitaan dan rasa sakit
Juga tidak menahan kehidupan dan menolak kematian
Karena kegembiraaan dan kebahagiaan

Semua terserah padaMu
Ada pada saatnya
Tiada pada waktunya
Kapan, dimana?
Pada waktu dan saat yang tepat.

ADE FSE

kuawali di Shantikara dan kuselesaikan di Nagahuta k. 7C

Selamat Tinggal Sang Kekasih

“Berbahagia karena engkau punya cinta, untuk kau nyatakan kepada orang yang engkau cintai. Tapi engkau juga harus menyiapkan hatimu menerima sesuatu yang sungguh tidak engkau harapkan dari orang yang engkau cintai. Keterbukaan hatimu untuk menerima kenyataan ini adalah bukti cintamu yang sangat besar untuk orang yang sungguh engkau cintai. Mungkin engkau akan kecewa dan menangis, tapi yakinlah semua itu merupakan tanda cintamu yang murni.....................dst
..................................
Percayalah segala kebaikan, kasih, perhatian dan segala sessuatu yang terindah darimu akan kucatat di hatiku.
Aku berharap semoga engkau yang mencintaiku dan yang kucintai menemukan cinta yang terindah dalam hidup ini. Aku mendoakanmu dengan penuh cinta. Yakinlah banyak orang yang mendambakan dan membutuhkan cinta dan mencintaimu. Saat ini aku berkata
Semua untuk Tuhan.... Selamat Tinggal Kekasihku

Dariku yang engkau cintai dan mencintaimu
Ade Albine’s FSE
Kutulis di Kota Gudeg-kuselesaikan saat Musim panas di San Dammiano Juni’ 09

Percakapan di Sebuah Persimpangan

Aku berdiri di sana,
di sebuah persimpangan jalan dan bergulat dengan rasa dan pikiranku sendiri.
Di sana aku kalut.
Di sana aku berdiri seperti patung tak bernyawa dengan hati yang gundah gulana.

Bukan karena aku lelah melangkah maka aku diam di sana,
tapi karena aku tidak tahu ke mana harus melangkah.
Aku melihat dua jalan membentang di hadapanku.
Jalan yang tidak dapat kubedakan dengan pandangan mata dan pikiranku.

Aku tidak lagi menemukan jejak tempat aku menempatkan telapak kakiku.
Yang aku tahu adalah bila aku melangkah setapak saja,
aku akan masuk ke salah satu sisi jalan dan meninggalkan jalan yang lain.
Tapi aku sendiri tak tahu jalan mana yang seharusnya aku jalani.
Dalam kebingungan itu aku tidak ingin membuat keputusan
dan aku tidak mampu membuat keputusan.

Di persimpangan itu aku berdiri menatap ke sekelilingku, aku menemukan hiruk-pikuk kehidupan yang menawarkan keindahan untukku.
Haruskah aku memilihmu?
Tidak, aku tidak mau. Hatiku berontak!

Aku tidak dapat membuat keputusan.
Aku diam.
Apa yang harus aku lakukan? Di persimpangan ini?
Ya.... Di persimpangan itu...
dalam kegundahan dan kebingungan aku duduk bersila,
memejamkan kedua mataku, mengatupkan bibirku,
membuka kedua tanganku,
membiarkan hatiku diam.
Aku berharap dalam diam, dalam hening dan sepi
akan ada suara yang menuntun aku.

Ya.... dalam diam itu Dia datang menemuiku.
Ia berbicara tentang perjalananku.
Tuhan aku tidak menemukan jejak kaki Mu yang biasanya kuikuti", kataku dengan hati sedih.
Ia menjawabku, "AnakKu, jejak kakiKu selalu ada tapi engkau tidak melihatnya".
Ia memberiku sebuah obor bernyala untuk menerangi jalanku agar aku dapat melihat dengan jelas jalan yang dilalui telapak kaki-Nya, dan aku mengikuti Dia.
Ia menuntun aku berjalan.
Dan aku menurutiNya.

Aku melangkah di dunia nyata dengan cahaya obor yang aku peroleh dari padaNya.
Dan jalan itu adalah jalan yang sedang kujalani saat ini.
Di jalan inilah aku menemukan jejak kaki-Nya.
Semua berawal dari persimpangan itu.

Di Persimnpangan itu kami bertemu.
Di persimpangan itu kami bercakap-cakap.
Di persimpangan itu aku diam dan mendengarkan Dia.
Di persimpangan itu aku menerima terang.
Di persimpangan itu aku meninggalkan satu jalan yang pernah membuatku bingung.

Terimakasih persimpangan.......

Ade FSE

Kamis, 08 Juli 2010

Dikejarkah KIta

Dikejarkah Kita?

Rasa lelah dan penat menyatu dalam jiwa dan raga. Ingin rasanya cepat tiba di komunitas dan mengguyur tubuh dengan air sumur, makan dan tidur dalam mimpi indah. Sejak pukul 05.30 pagi sudah meninggalkan komunitas dan sekarang hampir jam tujuh malam.
Aku dan seorang suster menuju parkiran dan kami melaju dengan motor bernomor polisi AB........sambil bernyanyi kecil ”Lord..make me instrumen of Thy peace... yang diaransemen oleh Don Marsh, aku duduk sopan dibelakang susterku yang konsentrasi penuh mengendarai motor.
Sejak sore kami memang latihan koor untuk konser kecil-kecilan di kampus Maklum saja latihan terakhir jadi menyita waktu banyak. Bernyanyi sepuluh lagu secara berulang-ulang membuat kerongkongan kering, dan seluruh tubuh rasanya remuk
Tiiiiit, pom....suara klakson ramai membuatku tersentak. Serta merta aku berhenti bernyanyi tepat pada syair where there is despair hope. Kita bablas kata suster yang menjadi pembalap malam itu. Kami terperangkap di tengah jalan karena seharusnya kami berhenti karena dari arah kami lampu berwarna merah yang bersinar terang.
“Ade..ada pak polisi, dikejarkah kita?’’, tanyanya dan terus melaju. Aku menoleh dan berkata, ya biar saja kita dikejar, kita lanjut saja kalau disuruh berhenti kita berhenti, jawabku tanpa ada rasa bersalah sambil senyam-senyum.
Beberapa waktu kemudian seorang yang berseragam lengkap mendahului kami dan berkata, “berhenti di depan. Aku tahu kata-kata itu ditujukan kepada kami. Terjadilah transaksi antara kami bertiga di pos polisi.
Pak polisi dengan ramah menjelaskan bahwa kami telah melanggar rambu-rambu lalulintas yang menyebabkan orang lain tergangu dan bahkan sangat mungkin menyebabkan kecelakaan. Rasanya tidak ada lagi alasan untuk membenarkan diri. Kami menyerah kalah karena memang kami bersalah. Maksud hati cepat sampai di komunitas, ternyata cepat sampai di pos Polisi, keluhku dalam hati.
Dalam hidup sehari-hari kita memang sering membela diri, sudah tahu salah tapi tidak mau menyerah sebelum dikejar dan ditangkap. Kita seringkali mencari celah untuk menyelamatkan dan membenarkan diri.
Kami tahu, kami salah karena melanggar rambu-rambu lalu lintas dan seharusnya kami berhenti dan mengaku salah. Tetapi kami terus melaju meski sudah dikejar. Kami berhenti ketika disuruh berhenti dan harus kembali ke pos polisi yang jaraknya semakin jauh karena ulah kami sendiri. Seandainya kami cepat berhenti pasti kami tidak perlu menenpuh jarajk yang begitu jauh ke pos Polisi.
Seandainya dalam hidup aku berbuat kesalahan dan dalam kesadaran penuh mengakuinya dan minta maaf secepat mungkin pasti urusannya tidak perlu dalam waktu yang lama. Tapi kenyataannya kesalahan itu kubiarkan berlarut-larut menunggu orang lain mengejar dan mengingatkan.
Adeline Albine Sitepu FSE

SEPATU

Sepatu IPPAK

Sepuluh menit berlalu aku duduk di koridor kampus menunggu teman-teman yang akan praktek Micro Teaching. ”Mengapa belum juga ada teman yang datang?”, tanyaku kepada teman sebelahku yang lebih dulu tiba dari aku. ”Entahlah Suster, tapi sepertinya masih ada mahasiswa dari prodi lain yang praktek di laboratorium”, jawabnya sambil melirik jam tangannya.
Menurut jadwal, seharusnya giliran kami yang praktek di laboratorium. Jangan-jangan teman-teman sudah mulai lebih awal tanyaku ingin tahu. Kami berniat masuk ke laboratorium, tapi ada rasa enggan karena kami sangka masih ada yang sedang praktek Micro Teaching di sana.
Aku mencoba untuk mengintai siapa yang sedang praktek, tapi ternyata mataku tidak mampu menembus tembok itu. Aku kembali mendekati temanku yang sudah mulai gelisah karena sudah terlalu lama menunggu. Dalam kegelisahan dan penantian itu seorang teman datang terburu-buru dan bertanya,”kog belum masuk suster?” ya belum ada orang jawabku singkat. Tapi kan seharusnya kita masuk sejak dua puluh menit yang lalu sambungnya. Oya, teriakku tersentak, tapi kog nggak ada yang datang .
Kami masih ragu siapa sebenarnya yang sedang praktek, mau melihat tidak ada lubang untuk mengintai, mau mendengarkan suara teman yang sedang praktek juga tidak kedengaran. Akhirnya kami sepakat mencari tahu dengan cara alternatif, jitu dan tepat sasaran. ”Bagaimana kalau kita lihat saja sepatu di rak?”. Usul diterima. Kami menuju rak sepatu, serentak kami berseru hei ini sepatu IPPAK, berarti teman kita sudah mulai dari tadi. Seperti seorang yang menemukan fosil tua kami memperhatikan sepatu yang rapi tersusun seperti roti siap dipanggang. Yaa.. ini sepatu kak Sebel, ini sepatu Simamora, ini sepatu si anu dan seterusnya. Ya benar, semua ini sepatu IPPAK, lanjutku sambil menunjuk sepatu di rak.
Tanpa diskusi lebih lanjut kamipun menanggalkan sepatu, meletakkannya pada deretan sepatu IPPAK. Berlahan kami membuka pintu laboratorium. Benar teman-teman kami sudah mulai praktek dua puluh menit yang lalu. Kami tersenyum dan mengambil tempat duduk bagian belakang. Mata teman-teman yang sedang praktek Micro Teaching menyambut kami dengan ramah.
Duh untung ada sepatu di rak kalau tidak pasti kami tetap menunggu diluar sampai matahari terbenam. Sepatu itu telah menjadi petunjuk bagi kami untuk menemukan teman-teman yang kami tunggu-tunggu yang ternyata telah mendahului kami seperti fajar mendahului siang.
Mengenal seorang bukan hanya lewat wajah, tapi juga lewat segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Perkenalan kami sebagai mahasiswa IPPAK (Ilmu Pendidikan Kekhususan Pengetahuan Agama Katolik) bukan sekedar sebagai rekan mahasiswa tetapi kami menjadi sahabat satu sama lain. Kampus kami seperti sebuah komunitas kecil yang anggotanya hidup rukun, saling mendukung, saling mengenal secara mendalam, mulai sifat, sikap, hoby dan bahkan sepatu. Kami adalah keluarga rohani yang damai meski sebenarnya kami banyak perbedaan baik, usia, latar belakang dan sebagainya. Tetapi perbedaan itu menjadi keunikan dan tanda pengenal kami masing-masing. Meskipun kami tidak melihat wajah teman kami, melalui sepatunya pun kami bisa mengenalnya. Bukan hanya orangnya yang menjadi mahasiswa IPPAK tapi seluruh kepribadianya termasuk sepatunya pun IPPAK, sehingga dengan sepatu itu kami dapat mengenali teman-teman kami.
Alangkah bahagianya saling mengenal secara mendalam. Seandainya perkenalan dengan sesama tidak sekedar kenal wajah pasti akan menggembirakan seperti yang kami alami di komunitas kami di kampus IPPAK
Adeline Albine Sitepu FSE

Kamis, 27 Mei 2010

Temani Aku Malam Ini

“Temani aku malam ini ya”, kata seorang susterku ketika makan malam. "Ya, bisa”, jawabku pelan. Malam itu memang aku menemaninya dari pukul 21. 45 WIB sampai 02. 45 WIB pagi.
Menemani dia berarti, siap menahan dinginnya angin malam, serangan nyamuk-nyamuk dan berbaring di kursi rotan yang dibariskan sebagai ganti tempat tidur atau membentangkan tikar di lantai semen yang tentunya akan menularkan rasa dingin ke seluruh tubuh.
Aku menemani dia mengerjakan tugas Mazmur, di ruang komputer. Aku duduk di dekatnya dan membaca Kitab Hukum Kanonik. Sebenarnya aku ingin menemaninya dengan duduk setia bersamanya sampai tugasnya selesai. Tetapi aku tidak bisa menahan rasa ngantuk. Aku akhirnya tertidur bersama buku KHKku sedangkan dia masih bergulat dengan tugas Mazmurnya.
“Ade, ayo bangun, sudah selesai”, kudengar suaranya berat. Aku bangun, menggosok kedua mataku dan melirik jam dinding tua berwarna kuning, jarum jam menunjuk pukul 02. 45 WIB. “Sudah selesai?”, tanyaku, sambil merapikan buku-bukuku. “Sudah”, sahutnya singkat. Dengan mata yang berat kami melangkah meninggalkan ruang komputer yang dingin dan dihuni oleh beberapa ekor saudara nyamuk itu.
Dua hari berikutnya, giliranku yang harus menyelesaikan tugas Kristologi. Ketika makan malam aku meminta kepadanya agar menemaniku malam itu. “Temani aku malam ini ya”, pintaku padanya. Dan malam itu dia menemaniku mengerjakan tugas Kristologiku.
Aku melirik petunjuk waktu di sudut kanan komputer, ternyata sudah pukul 23.13 WIB. Kulihat dia mulai menguap menahan ngantuk. Beberapa waktu kemudian dia mengambil posisi strategis untuk tidur di tikar berukuran 1 X 2,5 M yang dibentangkannya sejak masuk di ruang komputer itu. Selamat tidur kawan kataku dalam hati. Selama mengetik tugasku, aku sekali-kali meliriknya, dia nampak tidur tenang tanpa beban. Sementara aku masih harus berkutat dengan tugasku, berjuang melawan rasa ngantuk, lelah, dingin dan gigitan nyamuk yang menyerbu kakiku.
Pukul 02.57 WIB, tugasku rampung. Aku mematikan komputer dan merapikan buku-bukuku. Aku melihat suster yang menemaniku tidur pulas, sehingga aku enggan membanguninya. Aku membariskan 3 buah kursi rotan di dekatnya dan berbaring di sana sampai pukul 04.00 WIB. Ketika aku bangun temanku masih tidur pulas. Mengingat, kami akan berdoa pukul 04.30 WIB, maka aku membangunkannya dan kami beranjak ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap berdoa.
“Temani aku malam ini”, ungkapan ini selalu kami ucapkan ketika kami butuh teman mengerjakan tugas di ruang komputer. Dan pasti tidak ada diantara kami yang keberatan. Tetapi yang sering terjadi adalah yang menemani tidur pulas, sedangkan yang minta ditemani berjaga sampai pagi. Bahkan harus membangunkan yang menemani. Meskipun yang menemani tertidur, tetapi aku tetap merasa aman dan tenang mengerjakan tugasku di ruangan yang sepi itu.
Kejadian ini mengingatkan aku ketika Yesus meminta tiga orang murid-Nya menemani Dia berdoa di Getsemane. Murid itu tertidur dan Yesuslah yang membangunkan mereka. Padahal seharusnya yang menemanilah yang berjaga bukan sebaliknya malah tidur.
Aku sadar menjadi teman yang setia butuh perjuangan, pengorbanan dan harus mampu merasakan apa yang sedang dialami oleh orang yang kutemani. Setiap orang butuh teman untuk menemani paling tidak duduk di sampingnya. Alangkah senangnya saat merasa lelah, ada teman di samping kita.
Betapa istimewanya manusia, meskipun dia tertidur tapi tetap mampu memberikan sesuatu yang berarti yang tidak bisa diberikan oleh benda lain. Di ruang komputer itu ada tiga unit komputer, kabel, kursi, meja, tumpukan buku, keranjang sampah dsb. Tetapi benda-benda itu tidak cukup sebagai teman. Ketika mengerjakan tugas di ruangan itu kami selalu berkata, “temani aku malam ini ya”, meskipun yang menemani biasanya tertidur dan harus dibangunkan, tetapi manusia punya arti dan peran istimewa yang tak pernah bisa digantikan oleh apapun.

Adeline Albine Sitepu FSE